Mohon tunggu...
Abdullah Mabruri
Abdullah Mabruri Mohon Tunggu... -

masih dalam proses pencarian

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sahibul Menara dan "Geng" Lebah

13 April 2012   16:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:39 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film "Negeri 5 Menara" bukan hanya bercerita tentang pendidikan ala pesantren, perjuangan tak kenal lelah, dan kepatuhan terhadap orang tua, tetapi juga tentang persahabatan. Maka, saya mengucapkan terima kasih kepada teman-teman satu kelompok belajar saya di dalam "Geng" Lebah, yaitu Yeni, Farid, Lutfi, dan Randy, yang bersepakat untuk menonton bersama film ini di Cinema 21 Bintaro Plaza. Pastinya, menonton bersama para sahabat akan jauh lebih berkesan daripada menonton seorang diri. Ya, film N5M ini seharusnya ditonton secara kolektif: bisa keluarga, teman satu kelas, kelompok belajar, "geng", dan lain-lain. Bagi pasangan muda-mudi, alangkah baiknya jika mengikuti saran saya: kali ini ajaklah keluarga besar calon mertua untuk menonton bersama, jangan berdua saja karena ini bukan film romantis :D. Sebenarnya Cinema 21 Bintaro Plaza memperoleh kehormatan untuk menayangkan film ini sebelum dirilis secara resmi pada tanggal 1 Maret 2012. Sayangnya, pada tanggal 12 Februari itu, satu-satunya tanggal di mana Cinema 21 BP menayangkan film ini sebelum rilis, bertepatan dengan saat kami Ujian Akhir Semester 5. Kami tidak berani berkompromi soal ini. Meski tentu sangat ingin bagi kami untuk menonton film ini bersama A. Fuadi dan para pemain. Oh ya, saya mempunyai sebuah hipotesis mengapa Cinema 21 BP mendapat keberuntungan memutar film N5M sebelum rilis. Mungkin karena Bang A. Fuadi bertempat tinggal di bilangan Bintaro. Setidaknya, mendahulukan tetangga itu adalah hal yang baik. Ketika film ini tayang perdana secara serentak, yakni tanggal 1 Maret 2012, kami sedang libur kuliah dan pulang ke kampung masing-masing. Sekembalinya ke Bintaro, kami segera menyepakati sebuah tanggal. Hari Rabu tanggal 14 Maret menjadi keputusan bersama. Malam itu kami berlima menonton film N5M. Sungguh pun produser maupun sutradara menginginkan cerita yang berbeda dengan versi novel, dalam film ini--lagi-lagi sebagaimana film adaptasi dari novel--suasana yang terbangun tidak mampu menampilkan seluruhnya seperti suasana dalam novel. Orang-orang telah sepakat bahwa film pada dasarnya memang membatasi imajinasi penonton. Maka, wajar bila banyak orang yang menganggap suatu film tidak bisa mewakili gambaran yang ada pada novel. Sebenarnya, ini hanya masalah imajinasi yang beda antara pembaca dengan sutradara. Namun, saya kira sang Sutradara, Affandi Abdul Rahman, sudah memberikan visualisasi yang paling mewakili dari semua imajinasi yang ada di kepala pembaca novel. [caption id="attachment_181745" align="aligncenter" width="300" caption="Recommended Movie!"][/caption] KG Production sangat cermat menilai potensi film asli Indonesia. Novel yang sarat nilai-nilai ini diangkat menjadi film dengan judul yang sama untuk tujuan yang pasti: menyebarkan semangat "man jadda wajada" kepada sebanyak-banyaknya umat manusia. Dengan skenario yang ditulis oleh Salman Aristo, film ini menjadi begitu ramah bagi pancaindra kita, memudahkan setiap individu untuk menyerap pesan-pesan kebaikan yang disampaikan. Ranah Minang telah terkenal sejak dulu. Dari masa ke masa, tokoh-tokoh bermunculan saling menggantikan dan meneruskan. Kini sudah bukan eranya pahlawan dalam peperangan, maka muncullah kisah heroik yang lebih berkenan di hati masyarakat dewasa ini. Alif (diperankan oleh Gaza Zubizareta) adalah seorang remaja Minang yang masih terlalu dini untuk bijak dalam memilih. Keinginannya berlainan dengan kebijakan orang tua. Amak (Lulu Tobing) dan Ayah (David Chalik) menginginkan Alif menuntut ilmu tidak hanya untuk dunia saja. Sosok Buya Hamka menjadi tokoh ideal di mata orang Minang. Maka, berdasarkan rekomendasi Pak Etek Gindo, Alif di-"paksa" untuk nyantri di Pondok Madani (PM). Jadilah Alif menuntut ilmu di PM. Lambat laun Alif menemukan hikmah di balik paksaan orang tua seiring dengan terjalinnya persahabatannya dengan kawan seperjuangan di PM. Mereka berenam menamakan diri sebagai Sahibul Menara. Dari konflik dengan orang tua, cerita dilanjutkan dengan kisah persahabatan satu "geng" remaja beranjak dewasa. Dengan semangat muda, mereka menjadi lakon dalam mempraktikkan mantra "man jadda wajada". Nyaris setiap anggota Sahibul Menara: Alif, Baso (Billy Sandy), Said (Ernest Samudra), Raja (Jiofani Lubis), Atang (Rizki Ramdani), Dulmajid dan (Aris Putra), menjadi tokoh penting dalam kehidupan di PM sesuai dengan kompetensi mereka. [caption id="attachment_181746" align="aligncenter" width="560" caption="Sahibul Menara: persahabatan yang mengagumkan."]

13343336741306434646
13343336741306434646
[/caption] Patut bila mereka bermimpi menjadi orang besar untuk menaklukkan dunia dengan kesungguhan dalam berusaha. Mantra "man jadda wajada" yang sejak pertama kali menuntut ilmu di PM telah diajarkan dalam praktik oleh Ustadz Salman (Donny Alamsyah) benar-benar diaplikasikan untuk menyongsong mimpi mereka. Bagian dari mimpi-mimpi itu ditandai dengan negara-negara yang ingin mereka reguk ilmu daripadanya. Dan, negara-negara mimpi itu masing-masing mempunyai menara. Namun, bagi gontor, definisi "orang besar" sangatlah bersahaja tapi komprehensif. "Orang besar" adalah orang yang mengabdikan diri-memberikan manfaat-mengajar walau hanya di langgar/surau kecil sekalipun. Untunglah saya sudah lama membaca novel N5M. Jadi, ketika nonton filmnya, saya sudah lupa detil ceritanya. Namun sejujurnya, salah satu momen yang saya tunggu-tunggu adalah kemunculan Sarah. Bagaimanapun, saya ingin mencocokkan imajinasi Sarah dalam otak saya dengan apa yang ada di film. Dan, ternyata, kemunculan tokoh Sarah tidaklah signifikan dalam film (sebagaimana dalam novel, sebenarnya). Saya agak kecewa. Namun akhirnya saya mendapat pencerahan, bahwa film ini bukanlah film percintaan. Maka, sudah seharusnya dibuang jauh-jauh pikiran seperti itu. Film yang termasuk drama ini cukup banyak menampilkan humor ala pesantren. Terbukti dengan beberapa kali terdengar suara tawa dari para penonton. Demikian pula dengan saya. Meski begitu, pesan "man jadda wajada" tetap tersampaikan. Satu adegan yang cukup menggelitik adalah saat Alif berpose bersama keluarga Ustadz Khalid. Sampai adegan itu, rencana Alif hampir berjalan sesuai harapannya. Ia bertaruh dengan Sahibul Menara untuk sebuah foto Sarah. Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa kerja keras Alif selama ini untuk mendapatkan foto Sarah dan dirinya dalam satu frame memang tidak membuahkan hasil. Ini adalah kejadian--yang menurut saya termasuk--force majeure. Kehadiran Kyai Rais (Ikang Fawzi) yang menghalangi kamera adalah kejadian di luar kendali Alif. Maka, "man jadda wajada" saja tidak cukup. Mungkin ending film terkesan memotong cerita, buru-buru, kurang halus, mengecewakan, tiba-tiba, dan terlalu singkat. Tentunya ini terasa seperti memaksakan cerita berakhir dengan biasa. Dibanding versi novel, ending-nya lebih kerasa. Namun, bagi saya itu karena seharusnya film "Negeri 5 Menara" langsung bersambung saja ke film "Ranah 3 Warna". [Semoga] Ini bukan kebetulan. Mereka berenam adalah shohibul menara. Kami berlima, saya ingin menamai "Geng" Lebah ini sebagai Shohibul Perpustakaan, karena kami dipertemukan di perpustakaan. Mungkin, di pikiran kita masing-masing, kami mematok satu menara untuk menjadi tujuan kami kelak. Amiin. MAN JADDA WAJADA!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun