Mohon tunggu...
Abdul Malik
Abdul Malik Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Continuous improvement!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menertawakan Tampang Cagub DKI (2)

7 Juli 2012   13:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:12 1423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar.

Dengan makin narsisnya foto para calon gubernur DKI di media cetak, elektronik sampai yang merusak keindahan lingkungan kita melalui spanduk dan pamfletnya, hal itu tentu membangun kesan tentang mereka dalam pikiran kita. Sah-sah saja mereka narsis dalam rangka kampanye merebut hati pemilih. Sebaliknya, sah juga bagi kita memberi kesan atau menertawakan kenarsisan tampang mereka.

Nah, dari pengalaman saya mengamati tampang para cagub dari penampilan mereka, berinteraksi langsung dengan sebagian dari mereka, termasuk orang dekat dan pembantu para kandidat itu, mari urai kesan kita satu-persatu (tidak berdasar urutan KPUD) pada artikel ke dua ini:

Fauzi Bowo

[caption id="attachment_186656" align="alignnone" width="180" caption="sumber:pilkadadki.com"][/caption]

Ahaa… ini dia yang ditunggu-tunggu. Agak panjang uraiannya.

Saya pertama kali mengenal Bang Foke sekitar 12 tahun lalu (tapi mungkin dia ga kenal saya :D). Waktu itu kalo ga salah dia masih salah satu wakil atau asisten Gubernur Sutiyoso. Tapi kompas.com menerangkan karirnya waktu itu sebagai Sekretaris Wilayah Daerah DKI. Entahlah, mungkin saya yang salah.

Pada saat itu, dia memang sudah digadang-gadang sebagai calon Gubernur. Golkarlah penggadangnya. Tahu sendiri, dulu hampir semua birokrat apalagi pejabat adalah kader Golkar. Kans Foke lebih kuat lagi karena dia suku Betawi, yang sepanjang Indonesia merdeka belum pernah jadi Gubernur di kampung sendiri. Kita tahu setelahnya pada Pilgub oleh DPRD tahun 2002 Foke terpilih mendampingi Sutiyoso.

Nah, setelah Bang Foke jadi wakil gubernur, beberapa kali saya bertemu. Dari situ saya lihat Foke dengan kumisnya sebagai sosok yang menjanjikan sebagai gubernur mendatang (Pilgub 2007). Dia tampil tidak seperti banyak orang Betawi (yang saya kenal) yang nyablak dan suka cengengesan. Bang Foke tampil tegas dengan kata-kata lugas.

Tapi di sisi lain, saya punya kesan lain. Bang Foke tampaknya lebih suka didengar daripada mendengar. Dalam sebuah pertemuan roundtable, Bang Foke seringkali ngobrol pada saat orang lain bicara, atau dia alihkan pandangannya bukan pada orang yang berbicara dengan dia (bukan saya lho :D). Bang Foke juga cepat tersinggung bila dia mendengar ucapan yang tidak sejalan dengan konsep dia, apalagi mengkritiknya, spontan bisa ngamuk dia (kalo ini mungkin sudah banyak yang lihat ya). Tapi bila dia mendengar orang yang memuji atau mendukung konsepnya, seketika dia mengangguk-angguk tersenyum senang. Wah-wah, walau saya bukan psikolog apalagi psikiater, saya merasa ada kelainan ini, hemmm…. Lihat juga fotonya. Dengan senyum terkesan terpaksa, Bang Foke sepertinya menyembunyikan kepribadian lain yang mungkin sudah anda tahu, hehehehe....

Pada waktu Bang Foke jadi Gubernur. Tidak sedikit dari pendukung elitnya yang kecewa, termasuk wakilnya yang sama-sama kita tahu (Prijanto). Ga percaya? Tanyalah kepada Bang Biem Benyamin (dulu Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi). Kalau mau jujur, tanyakan juga Bang Nachrowi Ramli yang terpaksa ‘dikawinkan’ oleh penghulu SBY kepada Foke. Gaya Bang Nachrowi ini sebenarnya nyablak. Waktu dia mimpin Bamus Betawi, sering kali dia nyablak unek-unek terhadap Foke sama teman-temannya. Malah dia juga sempat dongkol waktu terpaksa mendampingi Foke, lantaran manuvernya dengan Anas Urbaningrum gagal untuk mendapat tiket Cagub DKI dari Partai Demokrat. Usut punya usut, Foke pun kabarnya empet sama Nachrowi. Mungkin karena unek-unek Nachrowi juga terdengar oleh Foke. Pendek cerita seperti kata adagium politik, tiada teman atau lawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan pribadi, hehehehe..

Kembali ke analisis tampang Foke, sebenarnya saya juga ragu untuk mengungkapkan isi hati (duh elah.. hahaha). Dengan memberi pendahuluan tentang bagaimana saya mengenal Bang Foke, saya jadi kuatir, apa mungkin Foke punya kelainan ….. ‘sensor’! Saya malah jadi teringat figur Hitler dengan sosoknya yang fasis, penuh rekayasa dan dikelilingi para penghibur (maksudnya pejabat yang bisa menyenangkan dia).

Bang Foke, pada pilgub 2007 mengklaim dia ahlinya Jakarta. Dalam setiap penampilan publik terutama di TV, dia benar-benar fasih menguraikan konsep solusi masalah kota, administrasi pemerintahan dengan diperkuat data-data statistik yang seolah meyakinkan. Tapi kalo kita – baik yang berKTP maupun yang sering berurusan dengan Ibukota ini – mau jujur, sebenarnya apa sih prestasi Foke yang mengesankan? Faktanya sekarang, Jakarta makin macet, jorok, kumuh, tidak aman, korup, dan kalaupun frekuensi banjir berkurang (kecuali di sekitar BKT), itu karena cuaca yang lebih dominan kemarau akibat pemanasan global. Jika dinilai ada perlambatan, Bang Foke selalu berdalih perlu ada master plan, feasibility study dan lain-lain alasan. Banjir Kanal Timur dia klaim sebagai keberhasilan. Padahal tanpa tekanan Wapres Jusuf Kalla dan sokongan pemerintah pusat, mungkin BKT masih feasibility juga saat ini.

Yang menjengkelkan saat ini, kas Pemprov DKI benar-benar dia kuras untuk iklan success story Foke di media cetak dan elektronik. Sebagian isinya manipulatif. Ada yang lebih menguatirkan. Foke dengan sadar ataupun tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, seperti sedang membenturkan warga betawi dengan etnis lain melalui kalimat-kalimat dia yang provokatif, juga melalui penggalangan ormas-ormas bermasalah.

Nah, sudah cukup banyak saya mengurai prestasi Bang Foke. Dengan akal sehat kita dapat menilai apakah rela DKI dipimpin Bang Foke lagi? hahahahaha

Faisal Basri

[caption id="attachment_186657" align="alignnone" width="180" caption="sumber:pilkadadki.com"]

13416682381918786275
13416682381918786275
[/caption]

Menurut saya, inilah sosok terlantang yang berani mengkritik Foke dan Pemprov DKI dengan bahasa lugas dan terkadang panas. Walau saya setuju dengan kritik Bang Faisal, tapi jika membayangkan jadi Foke, saya perlu lebih banyak kapas untuk menutup telinga, hahahaha…

Kritik panas Bang Faisal bukan barang baru. Dari Presiden, Menteri, Kepala Lembaga Negara dan Partai pernah jadi sasaran dia. Saat kritik terucap olehnya, kadang saya membayangkan muncul asap dari kepalanya.

Dalam sejumlah debat kandidat, konsep Bang Faisal menurut saya adalah yang paling masuk akal. Pengenalan masalah dan rumusan solusinya sangat realistis.  Contohnya dalam pengembangan jaringan transportasi interkoneksi, revitalisasi pasar tradisional, pemberantasan korupsi serta keberpihakannya kepada kaum miskin. Meski banyak pihak meragukan kapasitas leadershipnya karena banyak berkecimpung di dunia akademik, tapi menurut saya, Bang Faisal lebih berprospek dibandingkan petahana korup.

Satu catatan penting yang terkait dengan majunya Faisal dari jalur independen. Pada tahun 2001, dia tinggalkan jabatan Sekjen dan keluar dari keanggotaan Partai Amanat Nasional, padahal Bang Faisal termasuk pendiri dan deklator partai itu. Bila terpilih, apakah Bang Faisal kuat dan bagaimana menghadapi tekanan politik termasuk kepentingan partai dalam DPRD yang seringkali merongrong kepentingan eksekutif? (seperti kita lihat contohnya dalam kasus penganggaran gedung KPK oleh Komisi III DPR RI)

Joko Widodo

13416683611411803014
13416683611411803014
sumber:pilkadadki.com

Bayangkan jika Jokowi tampil di acara Bukan Empat Mata. Tukul Arwana pada awalnya mungkin akan menjaga hormat kepada pejabat ini. Tapi saat Jokowi bergaya lepas, Tukul spontan akan meledek Jokowi sebagai cagub bertampang Ndeso.. Ndeso.. Ndeso…. Buat pendukung Jokowi, mohon jangan tersinggung kalau saya anggap dia memang bertampang truly deeply ndeso, hehehehe….

Tampang seperti Pak Jokowi dapat dengan mudah kita temui di pasar, terminal atau di pusat sosial lain. Seperti rakyat kebanyakan, Pak Jokowi ga neko-neko. Termasuk ketika dalam talkshow dia ditanya para panelis tentang statistik. Seketika Pak Jokowi tampak tak berkutik, kalaupun menjawab biasanya cuma mereka-reka data. Hampir kebanyakan meleset, hehehehe…

Tapi seperti rakyat kebanyakan, Pak Jokowi ini memang pekerja. Termasuk ketika dia memimpin Solo, dia benar-benar ‘bekerja’. Bekerja yang saya maksud adalah berkeringat, turun ke lapangan, menyapa warga, mendengar keluhan dan mengatasi masalah di lapangan. Tidak seperti pemimpin lain yang bergaya juragan atau tinggal merintah, Pak Jokowi sering mengecek fakta lapangan, bahkan berkomunikasi dengan komunitas yang bermasalah. Seperti rakyat kebanyakan pula, Pak Jokowi ga jaim. Seketika dia bisa berjingkrak dalam irama music rock, di sisi lain dia lesehan, cengengesan, saat menonton opera van java bersama rakyatnya.

Tidak perlu saya ulangi menguraikan puluhan sukses prestasi Pak Jokowi hingga dia dinominasikan sebagai salah satu walikota terbaik di dunia. Tanya saja google atau kompas.com apa yang telah diraihnya.

Tentang Pak Jokowi yang mengesankan justeru disampaikan oleh dua teman saya. Yang satu namanya Kris, berasal dari Solo tapi sudah berKTP DKI. Satunya lagi Aryo, keturunan warga Klaten tapi lahir dan besar di Jakarta.  Baik si Kris maupun Aryo sama-sama mengaku berulang kali menerima telepon, sms, BBM atau e-mail dari keluarga dan teman mereka yang isinya menghimbau untuk memilih Jokowi dalam Pilkada DKI. Saya tanya, apakah keluarga atau teman mereka ada yang menjadi ningrat, birokrat, atau tim sukses Jokowi saat di Solo? Mereka menjawab tidak.

Kris yang berkampung di Ngemplak (bener ga nulisnya?) antusias sekali dengan hadirnya Jokowi dalam Pilgub DKI. Menurut manajer perusahaan logistik ini, Jokowi bisa memimpin Jakarta secara manusiawi, rapih dan bebas korupsi. Keluarga dan teman-temannya bangga dipimpin Jokowi dan kalaupun Jokowi kalah, mereka senang Jokowi kembali menata Solo.

Begitu juga dengan Aryo. Bankir muda ini sempat takjub saat keluarganya menjadi jurkam walau mereka bukan bagian tim sukses Jokowi. Aryo dulu simpatisan salah satu partai pemenang pemilu di DKI (tapi bukan kader) kemungkinan goyah untuk memilih Jokowi juga atas anjuran paman dan sepupunya di Klaten dan Solo sana. “Kalau separoh orang Solo jadi Jurkam Jokowi kayak yang gue alami, dia bisa menang dengan kampanye berantai,” kata Aryo sambil mempengaruhi saya.

Saya haturkan maaf untuk kedua teman yang nama dan testimoninya saya catut. Bagi saya sendiri, Jokowi adalah fenomena baru di republik kita atau lebih khusus lagi di Jakarta kita. Dalam ilmu marketing, kualitas produk dan layanan akan menentukan kepuasan pelanggan. Kualitas kepemimpinan Jokowi di Solo telah berdampak positif bagi kampanye dia di Jakarta. Jauh lebih ampuh dan dahsyat daripada iklan media massa, spanduk apalagi pamflet yang mengotori. Persona Jokowi sukses membangun jaringan viral marketing/ words of mouths yang massif yang mungkin lebih kuat dari kinerja tim suksesnya sendiri, dan citra sejati Jokowi adalah kualitas itu sendiri.

--------

Sidang Kompasianers yang mulia, saya bukanlah tim sukses atau analis dengan segala kerumitan perspektif ilmiah. Saya seperti sebagian Kompasianers lain adalah receiver pesan-pesan kampanye para Cagub. Sebagian efek dari pesan itu  kadang dapat membuat kita kagum, muak dan malah menertawakan mereka.

Salam tawa,

Selamat memilih Gubernur baru!!!

Sambungan sebelumnya:

http://sosok.kompasiana.com/2012/07/07/menertawakan-tampang-cagub-dki-1/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun