Pagi itu, sayup-sayup suara adzan subuh membangunkanku.Tapi rasa kantukku masih melekat pada bantal dan selimut. Ibu terus membangunkanku agar segera salat Subuh.Â
"Tukan saya bilang apa, jangan kerja dulu. Fokuslah sekolah, ini sudah jam berapa. Awas jangan telat sekolah!" Ibu marah-marah sambil menarik-narik selimutku.
"Njih Bu! Bentar mawon!" Aku memposisikan tubuhku dalam keadaan sujud sambil menghirup aroma bantal. Ku atur nafasku dan berusaha mengusir kantuk dari kepala.Â
"Ayo mas Radit, Ndang bangun!" Suara ibu terdengar lagi dari depan kamar sambil memegang Al-Qur'an.
"Njih Bu!"
Dalam keadaan setengah sadar kuteringat pesan pak Alif, memasuki telingaku.
"Ingat mas kalian sudah punya kewajiban, kewajibanmu beribadah kepada Allah, yang menciptakanmu, yang memberi rezeki padamu. Kok lupa pada yang memberi rezeki. Saat waktunya salat sudah tiba, segeralah ambil air wudu dan salat tepat pada waktunya. Dengan kesadaran diri kalian, tidak harus dibangunkan atau menunggu perintah dari orang tua." Aku langsung bangun seketika, dan bergegas ke kamar mandi.
Setelah salat subuh dan membaca QS. Yasin, ibu menghampiriku. Sebelum ibu berucap, aku berucap dulu dan meminta maaf. "Ngampunten ingkang katah nggeh Bu, atas kelepatan kulo."
Radit meminta maaf kepada ibunya karena telah mengecewakannya. Mungkin ini hari pertama dia kerja, sehingga belum terbiasa. Dan sekali lagi dia tetap meminta izin kepada ibunya agar bisa bekerja di warung Pak Sugi.Â
"Ngampunten nggeh Bu. Insyaallah mbenjeng mboten bangun kesiangan, percayalah sama Radit."Aku menjabat tangan Ibu dan mengecupnya beberapa menit sambil meminta maaf.