Hingga saat ini kasus kekerasan maupun kekerasan seksual pada anak masih banyak dilaporkan. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam UU RI No.23 tahun 2004 pasal 1 yaitu
“Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Dalam CATAHU tahun 2021, berdasarkan grafik jenis kekerasan ranah KDRT/RP tahun 2020 menunjukkan bahwa jumlah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga/Relasi Personal KTAP (Kekerasan Terhadap Anak Perempuan) terdapat 954 kasus atau 15%.
Korban kasus KTAP lebih banyak melapor ke P2TP2A karena P2TP2A mempunyai tupoksi untuk menerima layanan aduan untuk anak. Bentuk kekerasan terhadap perempuan (KtP) terbanyak adalah fisik (31% atau 2.025 kasus) dan kekerasan seksual (30%/1.938 kasus). Selanjutnya kekerasan psikis 1792/28% dan kekerasan ekonomi mencapai 680 kasus atau 10% (KOMNAS PEREMPUAN, 2021).
Terdapat fakta bahwa kebanyakan kasus kekerasan dan kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat, bahkan didalam keluarga (Kaloeti et al., 2019), dan yang menjadi perhatian adalah konsistennya ayah kandung sebagai pelaku kekerasan seksual (KOMNAS PEREMPUAN, 2021). Hal ini dapat digambarkan dengan beberapa contoh berita berikut :
“Seorang ayah di Sumatera Utara mensetubuhi 10x putri kandung yang masih dibawah umur ketika istrinya sedang tidak dirumah” (sumber : detikNews/Februari 2021)
“Seorang dosen Universitas Jember dilaporkan mencabuli keponakannya yang berusia 16 tahun dengan modus terapi pengobatan kanker payudara” (sumber : detikNews/ April 2021)
Agar kasus seperti ini kedepannya dapat berkurang bahkan sampai menghilang, maka sebagai masyarakat sipil, psikolog forensik dan aparat hukum terutama di pengadilan kita harus membantu dan membuat perlindungan dengan sebaik-baiknya. Pada UU no.23 tahun 2004, diartikan bahwa “Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan”.
Selanjutnya pada pasal 1 ayat 2, UU No. 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, bahwa “Perlidungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapar perlindungan dari kekerasaan dan diksriminasi”. Sampai saat ini, upaya dalam pemenuhan hak dan pemulihan korban mulai dilakukan, terdapat tiga pola penyelesaian kasus KDRT/RP yaitu (1) Penyelesaian Non Hukum (29%) dengan musyawarah yang difsilitasi LSM, P2TP2A, dan WWC, (2) Penyelesaian Hukum (29%) melalui jalur pierdata (8%) dan jalur pidana (24%), dan (3) Tidak Teridentifikasi (39%) (KOMNAS PEREMPUAN, 2021).
Anak dalam persidangan membutuhkan sentuhan psikologis guna memberikan gambaran utuh mengenai suatu perkara dan juga karena anak memiliki kerentanan lebih besar dengan pengalaman traumatis . Pengalaman trauma ini dalam bentuk kekerasan dan kekerasan seksual yang dialami, serta persidangan yang dipandang sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan. Maka dari itu Fulero dan Wrightsman (2009) memberikan pendapatnya mengenai peran psikologi forensik, yaitu :
- Mengevaluasi anak. Psikolog forensik dapat memberikan boneka yang menyerupai detail anatomi manusia atau anak untuk membantu dalam mengevaluasi kondisi psikis dan melihat kejadian yang dialami anak tersebut dengan proyeksi interaksi anak dengan boneka anatomi.
- Melakukan asemen dalam memberikan kesaksian. Karena akan membuka kembali ingatan traumatis, maka kesiapan anak dalam menghadapi persidangan harus berdasarkan proses asesmen yang ketat, sehingga psikolog forensik dapat menentukan layak atau tidaknya anak dalam memberikan kesaksian.
- Mempersiapkan anak untuk menghadapi persidangan. Psikolog forensik akan memberikan kekuatan kepada anak untuk mempersiapakan mental ketika persidangan, lalu membuat inovasi demi kenyamanan anak dalam memberikan kesaksian, dan kesaksian cenderung dinamis; hakim akan menyesuaikan dengan anak.
- Memberikan kesaksian sebagai saksi ahli. Dalam persidangan, psikolog forensik diminta menjadi saksi ahli untuk memberikan keterangan mengenai apa yang anak sedang proyeksikan kepada hakim. Hal ini dikarenakan memori traumatis anak biasa direpresi dan anak tidak mampu menceritakannya secara eksplisit. (Kaloeti et al., 2019).
Lalu apa yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat biasa? Sama halnya dengan para pemegang peran forensik, yang pertama dan paling utama adalah selalu mendampingi, memberikan rasa aman dan nyaman, memberikan arahan dan edukasi baik tentang reproduksi, agama, dan lain-lain. Selanjutnya jika anak mengalami kejadian traumatis yang membutuhkan terapi atau pemulihan dan pengobatan, maka kita dapat memberikan dukungan prososial.
Tidak lupa juga memberikan perlindungan pada tiap proses persidangan, mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai di pengadilan. Jika sebagai orangtua maka berkewajiban untuk mengasuh, mendidik, melindungi anak; menumbuhkembangkan minat dan bakat anak; memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti. Selalu lindungi diri sendiri, keluarga, kerabat dan masyarakat lainnya agar kehidupan bernegara semakin baik. Akhir kata, manusiakanlah manusia sebagai mana Anda mau diperlakukan sebagai manusia oleh manusia lainnya.