Sambungan dari opini tentang kebohongan guru yang mau tidak mau harus dilakukan apabila berada pada situasi tertentu. https://www.kompasiana.com/maarif_setyo_nugroho/665fef91ed641537cb23cc96/guru-tak-boleh-bohong
Adagium bahwa politisi tidak boleh salah tapi boleh bohong, sedangkan guru boleh salah tapi tidak boleh bohong bukanlah sebuah konsep, teori, atau hukum. Itu hanyalah ungkapan seseorang yang kemudian direproduksi berulang-ulang oleh banyak pihak melalui berbagai media. Karena begitu massifnya perilaku tersebut di tengah masyarakat, sehingga anggapan itupun seolah menemukan "jalan kebenaran", jadilah kemudian hal itu sebagai sebuah hal yang umum, menjadi salah kaprah, sesuatu yang salah atau keliru tetapi dianggap sebagai hal yang benar, dan sebaliknya, hal yang benar malah jadi tidak umum. Sama dan sebangun dengan adagium bahwa "peraturan itu dibuat untuk dilanggar".
Pertanyaan yang bisa diajukan atas situasi tersebut kemungkinan terbesarnya adalah, "Mengapa bisa begitu?"
Untuk menjawabnya, kita perlu mengajukan pertanyaan terlebih dahulu pada si penanya, agar jawabannya sesuai dengan maksud pertanyaan. "Yang dimaksud dengan "begitu" itu yang mana, adagiumnya, profesinya (guru dan politisi), atau pelakunya (individu)?"
Nah, yang ingin saya sampaikan sekarang justru bukan jawaban atas pertanyaan itu, tetapi situasi yang kini sedang terjadi, yang justru lebih dari sebagaimana adagium itu. Jika dulu hanya sekedar adagium, kini sudah menjadi tak hanya sebuah kondisi salah kaprah bener kepradah, tetapi "(nyaris) semua salah adalah kaprah" (tidak pakai embel-embel bener kepradah).
Mari kita kupas!
Mulai dari Politisi, sekarang coba hitung berapa dari mereka yang sekarang ini tidak bohong, mulai dari politisi tingkat kelurahan sampai Istana Negara. Jika kita menggunakan kata "bohong" dan "jujur" untuk menanyakan pada mereka tentang kesesuaian antara sikap, perbuatan, dan perkataannya, mungkin akan banyak yang keberatan mengatakannya. Akan berbeda hasilnya jika kita gunakan kata "diplomatis" atau kata yang berasal dari serapan bahasa asing sehingga maksud aslinya tersamar atau lebih halus.
Kemudian Guru, hitung sekarang berapa (persen) yang benar-benar melakukan penilaian dengan obyektif, murni, dan konsekuen untuk kemudian hasilnya dimasukkan dalam buku rapor atau ijazah! Jikapun ada, coba lakukan pembuktian terbalik dengan mengetes anak-anak kita sendiri, anak tetangga atau siapapun, hasilnya sesuai atau tidak dengan nilai di buku rapornya?
Pahit memang, kita semua tahu, dan sudah bukan rahasia umum lagi bahwa hal itu sudah berlangsung lama, tetapi kita tidak bisa melakukan apa-apa selain mengikuti aturan main yang ada. Perbedaan yang paling menyolok antara masa lalu dan masa kini ada pada aturan mainnya.
Dulu, jika Anda ikuti aturan mainnya, berarti Anda adalah orang idealis. Sekarang, siapapun yang ikut aturan main atau tidak ikut aturan main, akan sama-sama berpredikat sebagai pendusta. Sederhana saja, mungkinkah dalam sebuah ujian atau tes, ketika ada peserta yang mendapat nilai di bawah passing grade kemudian lulus dan mendapat ijazah atau naik kelas?