Mohon tunggu...
Maarif SN
Maarif SN Mohon Tunggu... Guru - Setia Mendidik Generasi Bangsa

Membaca untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Diary

Untukmu, Guru Anakku

1 Juli 2022   22:11 Diperbarui: 1 Juli 2022   22:15 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Dulu, saat almarhum Ayah masih aktif mengajar (menjadi wali kelas, tetapi aku masih belum paham dunia guru), beberapa kali rumah kami kedatangan tamu dari jauh. Tamu yang sebelumnya tidak pernah kami kenal, yang rumahnya juga di daerah yang belum pernah kami datangi, karena sarana dan prasarana transportasi waktu itu masih sangat minim.  

Mereka datang berdua atau bertiga, membawa oleh-oleh beberapa jenis makanan khas pedesaan dan roti kalengan. Kata Ibu, itu bingkisan buat kami, tetapi beliau agak kesulitan menjawab ketika kutanya alasannya. Jawabannya agak panjang dan hati-hati, mungkin sedikit khawatir dengan pemberian yang tak lazim itu. 

Selang beberapa tahun kemudian baru bisa kucerna peristiwanya, ketika kembali terjadi datangnya tamu asing di petang hari menjelang kenaikan kelas esok hari. Namun saat itu kisahnya berbeda, pemberiannya ditolak dengan halus dan tegas oleh Ayah karena ada maksud tertentu dengan bingkisan itu. Tak seperti beberapa tahun lalu, bingkisannya tak boleh kunikmati dengan senang hati, namun juga tak tahu harus bagaimana, sepertinya dibagikan pada tetangga pada akhirnya.

Kini, sebagai seorang guru engan status ASN sebagaimana Ayah dahulu, takkan pernah kulupa teladan itu.  Guru adalah profesi mulia, ASN adalah alat negara, yang harus patuh pada norma, tata krama, dan etika.

Kini, di era yang telah jauh berbeda segalanya, baik budaya maupun kehidupan sosialnya, teladan itu tetaplah berguna. Sebagai orang tua, ayah tak pernah memberikan sesuatu kepada para guru di sekolah anaknya, yang menjalankan tugas kenegaraan untuk mendidik murid-muridnya, yakni aku dan kakak serta adikku.

Namun, teladan yang berbeda Ayah tunjukkan ketika kami mengaji. Sowan pada Pak Kyai sambil membawa hadiah dan ungkapan puja-puji, atas apa yang telah diberikannya pada kami, anak-anak Ayah yang telah pandai membaca kitab suci. Wujud bakti kepada guru sebagai pewaris ilmu, hormat dan taat pada ulama sebagai pewaris Nabi SAW nan mulia. 

Sedih rasanya ketika di masa ini kontroversi makin menjadi. Hadiah dan bingkisan menjadi bahan gunjingan, hadiah dan bingkisan menjadi harapan mereka yang merasa telah jadi pahlawan, hadiah dan bingkisan diberikan meski anak didikan tak menunjukkan perubahan pada kebaikan. Hadiah dan bingkisan diberikan dengan ajakan dan pengumuman nilainya sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun