Ciri-ciri pembelajaran abad 21 sebagaimana diuraikan dalam Kurikulum 2013 (yang telah lalu) salah satunya adalah pemanfaatan perangkat TIK dalam pembelajaran.
Para ahli peramal masa depan yang banyak disebut oleh media sebagai futurolog, atau sebutan lain yang semakna, menyebut fenomena "hilangnya" budaya buku ini dengan istilah disrupsi, hal tercabut dari akarnya (menurut KBBI daring : https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/disrupsi).
Sekian tahun setelah kehebohan itu, yang disebabkan oleh belum siapnya berbagai aspek, khususnya daya dukung sarana dan prasarana pendidikan serta ribetnya proses KBM, ternyata hingga hari ini masih berlanjut. Bukan hanya menyisakan masalah, tetapi permasalahannya semakin bertambah. Bagaimana tidak bertambah, khususnya setelah pandemi yang meluluh lantakkan perekonomian dan kehidupan, budaya belajar siswa benar-benar sudah "rusak" dan butuh waktu yang panjang untuk menyembuhkannya.
Kurikulum merdeka yang menjanjikan bahwa K13 masih bisa (boleh) diterapkan -meskipun sebenarnya selama ini juga masih belum bisa dilaksanakan secara murni dan konsekuen- pada praktiknya "tidak boleh" diterapkan. Semua sekolah sudah harus melaksanakan Kurikulum merdeka secara penuh sesuai pilihan yang sudah (terpaksa) diambil.
Sebelum diterapkan, bunyi buzzingnya adalah bahwa kurikulum ini sebagai upaya "perbaikan pembelajaran" akibat adanya loss learning usai pandemi. Tetapi dalam perjalanannya apa yang digaungkan berbeda dengan yang kemudian diinstruksikan.
Di media sosial beredar video bagaimana mendiknas dicecar dengan pertanyaan dan pernyataan tentang banyaknya perubahan program yang dilakukan di tengah jalan. Jauh berbeda dengan apa yang sudah disepakati bersama DPR sebelumnya. Khususnya terkait dengan pendanaan, di mana ada kesenjanangan mencapai 7 (T atau M, tetapi diduga T).
Perubahan itu memang kemudian sangat terasa di lapangan, jika perubahan yang berulang kali itu terjadi selama masa pandemi, mungkin bisa dimaklumi, tetapi jika kemudian ternyata terus berlanjut sampai sekarang, apa yang menjadi dasar ya?
Perubahan-perubahan itu indikasinya seperti sebuah upaya perubahan secara bertahap, namun tahapan yang dilaksanakan kemudian bukan kelanjutan dari yang sudah berjalan, justru tahapan yang merupakan bagian dari sistem yang lain.
Terbukti kemudian bahwa ternyata rencana perubahan sistem pendidikan sudah dilakukan, dan sekuat tenaga diupayakan legalisasinya, meskipun mendapat penentangan dari para ahli dan organisasi masyarakat yang sangat concern dengan dunia pendidikan. Kegagalan masuk prolegnas tahun ini ternyata tidak menyurutkan langkah mereka, masih terus dilakukan upaya melalui "buzzing" dan integrasi, serta "indoktrinasi" pada para guru melalui beberapa program lengkap dengan jargon-jargonnya.
Pembelajaran berbasis IT yang sudah sejak lama disiapkan, dan kemudian di masa pandemi terbukti kontraproduktif, dengan bukti otentik generasi loss learning yang serba mager, memang harus diubah polanya.