Beberapa tahun lalu, ide besar ini yang juga disebut dengan Civil Society begitu dominan menghiasi setiap agenda kegiatan pemerintahan, dunia usaha, masyarakat kampus, sampai kegiatan-kegiatan dalam skala kecil level kelurahan. Masyarakat madani digadang-gadang menjadi model susunan masyarakat paling ideal yang menjadi tujuan jangka panjang negara ini.Â
Tatanan masyarakat plural sebagai tatanan ideal masyarakat Indonesia yang begitu beraneka ragam dalam segala hal, pada awal reformasi gaungnya begitu keras dan kuat, sehingga hampir setiap program pemerintah, acara seminar, diklat, hingga pidato tokoh dan tema acara selalu dikaitkan dengan upaya menuju terwujudnya masyarakat Madani.
Seiring Wafatnya pencetus ide Gerakan Masyarakat Madani, yaitu Nurcholis Madjid atau panggilan populernya Cak Nur, ide tentang pluralisme yang nilai-nilainya berpijak pada nilai-nilai kehidupan yang plural ala Masyarakat Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW pun meredup. Sampai sekarang nyaris tak ada lagi tokoh besar yang menyuarakannya, bahkan mungkin sudah banyak yang lupa apa itu gerakan Masyarakat Madani.
Masyarakat Madinah pada waktu itu, yaitu pada masa Perjanjian Hudaibiyah, yang mana masa itu adalah masa-masa sebelum peristiwa penaklukkan Mekah, sering disebut juga sebagai masa Pra Islam. Karena memang pada waktu itu Nabi Muhammad SAW tidak menerapkan peraturan berdasarkan syari'at Islam, tetapi menerapkan peraturan berdasarkan perjanjian antar suku dan golongan yang saat hidup di Kota Madinah dengan damai.Â
Sekedar tambahan pengetahuan bagi yang belum tahu, Nurcholis Madjid adalah Pendiri Universitas Paramadina, Universitas swasta yang tergolong  elit di Jakarta. Universitas ini pernah dipimpin oleh seorang rektor termuda dalam sejarah akademik di Indonesia, yaitu Anies Baswedan.Â
Pluralisme dan Kebhinekaan
Celah inilah yang kemudian diambil oleh para pemikir liberalis, gerakan masyarakat madani secara perlahan digeser dengan ide Pluralisme. Pluralisme ini sama-sama mengangkat keanekaragaman atau dalam bahasa yang lebih kekinian (tapi berasal dari jaman kuno juga), yaitu "Kebhinekaan".Â
Pluralisme, adalah sebuah paham positif untuk menerima perbedaan yang ada di tengah kehidupan masyarakat. Namun dalam perjalannya kemudian (terbelokkan) menjadi paham yang cenderung liberal. Proses ini berjalan secara perlahan-lahan dan berangsur-angsur atau bertahap, sehingga tidak terasa indoktrinasinya di tengah masyarakat.Â
Sempurna, kaum liberalis intelektual yang syar'i dan njawani bertemu, gagasan pluralisme dibuat lebih membumi dengan bahasa yang sangat familier serta memiliki nilai historis tinggi karena terdapat dalam lambang negara yang nilai sakralnya kembali menguat dan terus diangkat sebagai upaya melawan gerakan radikal dan intoleran. Momen yang sangat bagus.
Kekuatan besar liberalisme yang didukung oleh kaum intelektual dan berpengaruh khususnya lulusan barat menjadikan paham itu kian bercokol kuat di tengah masyarakat. Intelektualitas mereka yang didukung pemahaman syar'i yang mumpuni menyihir kaum menengah dan proletar yang religius (dengan unsur utama warga NU dan Muhammadiyah) terpana dan terbujuk seolah mendapat pencerahan baru (dan memang baru bagi sebagian dari mereka). Pun setali tiga uang dengan lulusan Timur Tengah yang nilai-nilai kehidupannya lebih diwarnai ideologi liberal meski hidup di tengah komunitas / masyarakat Islam dan dididik di perguruan tinggi Islam, karena negara itu sudah terkontaminasi oleh budaya barat dan ada juga negeri yang memang sengaja menerapkan pola kebudayaan masyarakat barat. Opini mereka dibungkus rapi dengan tafsir ayat suci dan tasawuf serta kejawen, menjadi sebuah racikan pemahaman baru yang enak dipandang dan untuk kemudian disantap, terlebih olahan cheff dengan segala sihir kecanggihan teknologi medsos. Luar biasa...
Anies Baswedan sebagai mantan rektor Paramadina yang notabene penerus Cak Nur tampaknya memiliki pandangan yang berbeda dengan pendahulunya. Sebagai mantan ketua timses Jokowi pada pemilu Presiden Tahun 2019, dapat dikatakan beliaulah peletak dasar gerakan revolusi mental dan program Nawacita yang kemudian menjadi roh setiap program penyelenggara pemerintahan. Jalan lempang yang kemudian diterapkan dalam program pendidikan nasional saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan. Â
Lengkap sudah faktor-faktor pendukung terlupakannya gerakan Masyarakat Madani dengan segala nilai positifnya yang pernah menjadi tujuan ideal negeri tercinta kita ini. Bahkan hingga hari ini, belum kutemukan catatan di buku sejarah yang mengabadikannya untuk disampaikan pada generasi penerus bangsa. Ternyata benar, bahwa tujuan ideal itu sifatnya "ngayawara" tidak akan pernah dapat dicapai
Tragis, begitulah sejarah intelektual di negeri yang tidak/kurang menghargai Intelektualisme, hilang di telan jaman.
_____________________________________________
Opini ini sudah pernah dipublish di Facebook dan gurusiana.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H