Mohon tunggu...
MA Darmawan
MA Darmawan Mohon Tunggu... profesional -

Pembaca setia kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paradoks Hi-Tech

9 Desember 2010   10:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:52 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Hi-Tech atau technology tinggi. Sebuah kata yang syarat dengan kontradiksi dan perenungan yang mendalam. Betapa tidak, high technology atau technology tinggi yang menawarkan kemudahan bagi penggunanya menyebabkan berbagai kontradiksi pada akhirnya, baik bagi konsumen pengguna maupun bagi tenaga kerja sebuah proses produksi.

Pada jaman dahulu ketika teknologi masih terbatas, dibutuhkan tenaga kerja yang banyak untuk melakukan pekerjaan yang sederhana. Di dalam dunia perbankan misalnya, jaman dahulu untuk memproses database memerlukan banyak orang untuk mencatat dan menjalankan sistem perbankan, namun dewasa ini pekerjaan yang semula dilakukan oleh 4 orang, bisa dilakukan oleh sebuah komputer. Munculnya sistem cerdas dalam sebuah sistem produksi di pabrik, mampu me-lay-off beberapa pekerja. Akan kemanakah para pekerja tersebut ?

Di dunia pertanian jaman dahulu sebuah lahan bisa diolah oleh lebih dari 10 orang, namun dengan adanya mekanisasi pertanian maka pekerjaan yang sama bisa dilakukan oleh kurang dari 5 orang dengan bantuan traktor. Saking banyaknya manusia yang terlibat dalam proses pertanian sampai-sampai sebuah desa memiliki kultur tersendiri dalam mengolah lahan pertanian. Disinilah kehidupan sosial berkembang pada jaman dahulu. Mulai dari proses pengairan lahan, pengolahan dan pemanenan semua dilakukan secara manual. Kehidupan sosial pada saat itu berputar dalam suatu poros pertanian rakyat dimana didalamnya terdapat ritual-ritual sosial kembali ke alam. Pada saat itulah manusia sangat dekat dengan alam dan memahami alam melalui pembelajaran kehidupan sehari-hari. Manusia beroleh hikmah dari alam raya yang merupakan manifestasi dari ayat-ayat Illahi.

Bagaimanakah jaman sekarang dengan adanya teknologi tinggi di kawasan negara berkembang-agraris seperti Indonesia ? Modernisme menggeliatkan perubahan yang sedemikian cepat dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun. Hubungan sosial yang semula bertumpu pada pertanian dan membentuk kulturnya sendiri, lambat laun mulai berubah menjadi sebuah kultur yang mengedepankan value-added bagi konsumen. Pasar tradisional yang pada jaman dulu di Jawa dijadwalkan sedemikian rupa mengikuti pola hari-pasaran dan telah lama menjadi supply-hub desa kota, perannya digantikan oleh jaringan retail, e-commerce, e-agriculture sertai beragam perubahan.

Technology tinggi yang cepat sekali perkembangan dan penyebarannya memerlukan perubahan pada aspek pola fikir dan budaya. Tanpa adanya mind-set yang baru, maka akan terjadi paradoks high-tech. Muncul gejala high-technology old habbit atau teknologi tinggi dengan kebiasaan lama. Apabila adopsi teknologi tinggi tidak disertai dengan aspek perubahan kebiasaan, pola fikir dan pengelolaan, maka kita hanya akan menjadi korban dari teknologi tinggi dan bukannya pemanfaat teknologi tinggi. Kita semata hanya akan menjadi pengguna sampai akhir jaman.

Munculnya teknologi mass media dan pendukungnya memudahkan masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah yang berbeda-beda, memiliki sebaran kultur yang berbeda-beda, pola fikir yang berbeda-beda untuk mengakses informasi sedemikian cepat. Di pedesaan yang paling terpencilpun, masyarakat bisa menikmati siaran televisi yang berasal dari perkotaan. Masyarakat pedesaan yang memiliki struktur ekonomi berbeda dengan perkotaan mendapatkan informasi dari wilayah perkotaan yang memiliki struktur ekonomi perkotaan yang bertumpu pada pola konsumsi.

Munculnya teknologi internet yang membahana sampai pelosok pedesaan, mengakibatkan pola perubahan pola fikir pada masyarakat pedesaan yang tadinya terbatas informasinya. Munculnya warnet-warnet di kota kecamatan memunculkan terbentuknya grup "melek informasi" di pedesaan. Namun demikian, kita harus menyadari bahwa information is not knowledge. Knowledge didapatkan manusia dari pembelajaran dalam kehidupan, dan tentunya pembelajaran kehidupan di pedesaan dan di perkotaan jelas berbeda konteks. Disebutkan pula, knowledge is not wisdom, karena wisdom adalah knowledge dengan insight. Hal ini menjadikan daerah pedesaan juga mengalami keterseokan dalam mendapatkan akses informasi yang sedemikian deras. Nampaknya kita juga harus melihat proses penyerapan informasi yang sedemikian deras.

Beberapa paradoks dan kontradiksi dari kemunculan high-tech akan merubah konstelasi masyarakat kita. Oleh karena itu, perlu adanya penyadaran akan penggunaan high-tech untuk meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan dan pendewasaan karakter bangsa. Dunia memang sedang berubah, namun menjadi apakah kita dalam perubahan itu ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun