Museum Brawijaya yang terletak di Jalan Ijen 25 Kota Malang, merupakan salah satu tujuan trip wisata sejarah yang unik. Ketika itu, Sabtu 6 Juni 2015, saya sempat berhenti sejenak saat melintas di depan museum, sekedar mencari minuman hangat dan nasi empok di “Warung Museum”. Di sekitar lokasi itu, seolah memancarkan suasana perang kemerdekaan tempo dulu, apalagi ditambah cerita mistis seputar “gerbong maut” berseri GR 10152. Tiga tank berjajar di depan museum, seolah ikon itu mengingatkan masa-masa perang kemerdekaan. Maka tepatlah jika semboyan “CITRA UTHAPANA CAKRA disematkan untuknya, yang berarti “sinar yang membangkitkan kekuatan”. Tak ada ruginya, jika Anda ke Malang, sempatkan mampir sesaat untuk mengunjungi destinasi bersejarah itu.
Selepas jalan-jalan di sekitar area Car free Day (CFD) setiap hari Minggu di jalan Ijen yang sejuk, kita dapat mampir sejenak di Museum Brawijaya. Lokasinya strategis, bersebelahan dengan perpustakaan Kota, tidak jauh dari GOR Gajayana dan Balaikota Malang. Saat masuk dan memandangi benda-benda bersejarah yang ada di dalamnya, terutama “gerbong maut” yang pernah digunakan untuk mengangkut para tawanan Belanda, bisa membikin bulu bergidik. Alkisah, gerbang maut ini menjadi bukti sejarah kekejaman Belanda saat memindahkan sekitar 100 tawanan dari Bondowoso ke penjara Bubutan Surabaya pada tahun 1947. Perjalanan itu berlangsung selama 13 jam (sumber lain menyebutkan 16 jam) dengan kereta api.
Bila Anda mau meneruskan wisata kuliner, tinggal memilih tempat terdekat yang nyaman. Ada pasar burung yang lokasinya dekat Hotel Splendid Inn Malang, hotel tertua dan legendaries yang berdiri sejak tahun 1973. Pada suatu ketika saya bertemu dengan ownernya, dia mengatakan hotel ini memiliki pelanggan tetap wisatawan asal Belanda, bahkan pernah ada yang menginap selama sebulan. Hotel ini dari segi arsitektur bangunannya, bergaya “jaman dulu”, dan tetap menjaga keaslian semua barangnya, termasuk perabotan maupun aksesoris hotel. Lokasinya beralamatkan di jalan Mojopohit No. 2-4 Kota Malang, tepat di sampingnya berdiri hotel Tugu yang arsitekturnya dibuat Modern. Unik, dua hotel bertetangga dengan suasana sangat kontras, yang satu klasik, sementara satu lainnya modern.
Ada pula warung makan “Inggil” berciri khas etnik Jawa Timuran. Latar ruang makan didesain mirip galeri koleksi benda kuno jaman kolonial, dihiasi topeng Malangan. Tempat itu bikin “ngiler” wisatawan, tak terkecuali turis asing yang mengunjunginya. Momen terbaik saat bersantap malam, suasananya amat mendukung ketika iringan live music lagu-lagu tempo doeloe, terkadang ditampilkan pula tarian khas Topeng Malangan. Sentuhan pakaian daerah dari para pramusaji yang ramah semakin menambah kehangatan suasana. Lokasi rumah “Inggil” persis berada di belakang Balaikota Malang.
Kisah “Gerbong Maut” Berseri GR 10152
Museum Brawijaya menyimpan benda gerbong maut berseri GR 10152. Gerbong maut yang disimpan di Museum ini, merupakan gerbong yang paling banyak memakan korban jiwa di antara tiga gerbong lainnya, satu disimpan di Bondowoso dan satunya lagi di Surabaya. Karena dua gerbong lainnya terdapat lubang kecil, sehingga para tawanan dapat bergantian menghirup udara. Sementara gerbong maut yang satu ini, benar-benar rapat, tidak berlubang sama sekali. Total ada 100 orang, 46 orang meninggal. Sumber lain meyebutkan ada 44 orang meninggal, 12 orang sakit parah, 12 orang lemas karena disekap dalam gerbong. Ketika itu, hanya 32 orang yang bisa mengurus jenazah sampai jam 02.00 dini hari sebelum mereka dikirim pe penjara Bubutan Surabaya. Itulah sebagian cuplikan buku “De Excessennota” yang mengisahkan sejarah kelam kemerdekaan. Buku itu diterbitkan oleh Sdu Uitgeverij Koningennegracht Den Haag pada tahun 1995 (sumber). Mungkin karena itulah, para pejuang membuat semboyan CITRA UTHAPANA CAKRA” untuk mengenangnya.
Soetedjo, adalah salah satu tawanan yang bebas pada tahun 1948. Soetedjo, menurut versi kisah itu, harus meninggalkan Bondowoso dan pindah ke Malang. Saat pindah ia dibantu oleh seorang dokter Tionghoa, namanya dr. Oei. Di Malang ia bekerja ikut aanemer Lo Hok Sioe. Ia menugaskan anaknya, yang mengisahkan cerita ini, setiap sore untuk pinjam koran dari Tio King Hwie, seorang pedagang tembakau yang tinggal di depan Kelenteng, di samping bioskop Emma (tahun 1948-1950). Gerbong maut diberangkatkan dari Bondowoso 23 November 1947 dan perintah pemindahan 100 tawanan yang dinyatakan sebagai extremist oleh Belanda dan dianggap melakukan kegiatan “subversieve activiteit”. Soetedjo, merupakan salah satu bagian dari kelompok itu. Peristiwa ini tercatat dalam buku “De Excessennota” yang terbit tahun 1995 – ingeleid door Jan Bank, diterbitkan oleh Sdu Uitgeverij Koningennegracht Den Haag 1995 (hlm.21): “Bij een dertien uur durend trein transport van 100 Indonesische gevangenen in drie afgesloten goederenwagens van Bondowoso naar Soerabaja,kwamen 46 gevangenen door verstiking om het leven … (sumber).
Menurut catatan yang bersumber dari Buku Panduan 'Sekilas Mengenal Museum Brawijaya' (Malang, 2008 dalam sumber ini), museum tersebut didirikan sejak tahun 1962 oleh Brigjend TNI (Purn) Soerachman di atas tanah seluas 10.500 m2, dan dukungan biaya dari Sdr. Martha, pemilik hotel di Tretes Pandaan. Arsitek museum adalah Kapten Czi Ir.Soemadi. Museum dibangun pada tahun 1967 dan baru selesai 1968. Menurut catatan itu, Museum ini diresmikan pada tanggal 4 Mei 1968 berdasarkan Keputusan Pangdam VIII/Brawijaya tanggal 16 April 1968. Nama Museum Brawijaya ditetapkan berdasarkan dengan sesanti (wejangan) 'Citra Uthapana Cakra' yang berarti sinar (citra) yang membangkitkan (uthapana) semangat/kekuatan (cakra).
Laman Berita Jatim mengklaim, museum ini merupakan museum perang kemerdekaan terlengkap yang ada di Indonesia (lihat sumber). Kini, di sekitar Museum jalan Ijen yang indah dan menjadi ikon kota Malang, banyak bermunculan para pedagang kecil. Mereka mengais rejeki dari para pengunjung yang hadir di museum ini. Saat saya mampir sejenak di hari itu, banyak pengunjung dari luar kota sedang mengunjungi tempat bersejarah tersebut. Meseum membuka kunjungan setiap hari pukul 08.00 – 15.30 Wib. Terutama pada hari Sabtu-Minggu, museum ini ramai diunjungi orang. Jika ada waktu luang, mengapa tidak Anda sempatkan mampir ke Museum Brawijaya yang sarat kisah-kisah seputar perjuangan kemerdekaan kita.
Bahan Bacaan Pendukung:
1. Beritajatim.com. 2014. “Penampakan Mistis Sepur Maut Museum Brawijaya Malang”. http://m.beritajatim.com/gaya_hidup/230251/penampakan_mistis_sepur_maut_museum_brawijaya_malang.html#.VXMpHtyUeHs. Dilaporkan oleh Reporter Aisha Maulid Isya, 01 Februari 2015.
2. Djoko Sri Moeljono. “Catatan Pelaku Sejarah “Gerbong Maut”. https://bondowosocity.wordpress.com/monument-gerbong-maut/catatan-pelaku-sejarah-gerbong-maut/. Catatan: Djoko Sri Moeljono (71 th.) adalah putra Soetedjo, penulis kisah ini. Tidak ada catatan kapan diupload di blog di atas, tetapi ada komentar pertama tertanggal 25 Juni 2010.
3. Indoturs. “Hotel Splendid Inn Malang”. http://indoturs.com/place/hotel-splendid-inn-malang/, 22 Juli 2013.
4. Museum Indonesia. 2009. “Museum Brawijaya”. http://www.museumindonesia.com/museum/50/1/Museum_Brawijaya_Malang, diakses 6 Juni 2015.
5. Ni Luh Made Pertiwi F (Editor). 2014. “Kisah Mencekam di Balik Gerbong Maut”. http://travel.kompas.com/read/2014/05/01/1230460/Kisah.Mencekam.di.Balik.Gerbong.Maut, 1 Mei 2014.
6. Pegipegi.com. Now Travelling is Easy. “Splendid Inn”. http://www.pegipegi.com/hotel/malang/splendid_hotel_malang_949236/, diakses 6 Juni 2015
WisataMalang.com. “Rumah Makan Inggil”. http://wisatamalangindonesia.blogspot.com/2013/02/rumah-makan-inggil.html. Diunggah oleh Yusuf Habibur Rahman, 14 Pebruari 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H