[caption caption="Bangunan Waste4Change di Bekasi ini Difungsikan sebagai Kantor sekaligus Tempat Edukasi Pengelolaan Sampah/Dok. Pribadi"][/caption]
Manusia adalah produsen sampah sejati. Selama ada manusia, selama itu pula ada sampah. Anggap saja tiap orang dari 250 juta penduduk Indonesia menghasilkan sampah 0,8 kg/hari, maka sampah nasional bisa mencapai 200 ribu ton/hari. Jika tidak dikelola dengan tepat, sedikit demi sedikit timbunan sampah menjadi setinggi bukit, bahkan "gunung sampah". Bila terjadi longsor, para pengais rejeki yang disebut “Pemulung” dan warga sekitar bisa beda riwayatnya.
“Indonesia Darurat Sampah”, demikian tulis Kompasianer Trisno Utomo. Mari kita renungkan kembali tragedi 21 Pebruari 2005 silam di Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat. Kala itu, terjadi longsor sampah yang menghancurkan rumah, perkebunan dan aset warga, bahkan ada ratusan korban jiwa. Dua desa sekaligus (Batujajar Timur dan Leuwigajah) tertimbun longsor, kemana riwayatmu kini? Kejadian itu merupakan tragedi kedua terbesar di dunia setelah kasus longsor sampah TPA Payatas, Quezon City, Philipina pada tahun 2000 silam.
Maka, peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN), sering dikaitkan dengan peristiwa tragis Leuwigajah. Pada tahun ini, HPSN 2016 dipusatkan di Kota Makassar. Selain akan digelar “Kerja Bhakti Massal”, ada visitasi terkait percontohan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Hal itu mengingatkan saya, saat akhir Desember 2015 lalu berkesempatan mengunjungi tiga lokasi pengelolaan sampah. Kami bertiga, bersama Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Kota Malang sengaja melihat dari dekat pengelolaan sampah di Waste4Change, Farmy4Life dan pabrik Daur Ulang sampah plastik di sekitar kawasan Bekasi.
Menuju Lokasi Waste4Change dekat Kawasan Vida Bekasi
Usai menghadiri Kompasianival pada 12-13 Desember 2015, esok harinya (Senin, 14/12/2015), kami mengunjungi Waste4Change. Pagi hari di Senin itu, kami bertiga berangkat menuju kawasan perumahan Vida Bekasi, setelah semalam menginap di rumah saudara teman saya di dekat Cibubur.
Menuju tempat itu, tampak jalanan padat kendaraan. Truk-truk besar di kawasan Bantargebang Bekasi-Cibubur, semakin menambah suasana hiruk pikuk perkotaan. Seolah, melengkapi duka masalah sampah TPA Bantargebang: pernah longsor dan beberapa kali diprotes warga. Ke depan, Kawasan Bekasi tak cocok sebagai daerah industri yang dipenuhi truk-truk besar di kanan kiri jalan. Kawasan strategis dekat ibukota Jakarta ini, layak dikembangkan sebagai pusat bisnis dengan hunian ramah lingkungan bebas sampah.
Kami memasuki pintu gerbang Vida Bekasi dan berhenti di sejenak warung kecil. Warung itu terdapat di pojok lahan yang masih kosong. Hawanya sejuk dan segar, kontras dengan suasana di jalanan yang padat. Idealnya, insfrastruktur pendukung lingkungan seperti saluran air dan penghijauan, dibangun terlebih dahulu sebelum pengembang mendirikan perumahan, seperti yang dilakukan manajemen Vida Bekasi.
[caption caption="Warung Kecil di Salah Sudut lahan Kosong Perumahan Vida Bekasi/Dok. Pribadi"]
Teman kami, Gus Sulthon, sebelumnya sudah membuat perjanjian dengan Bang Saut Marpaung untuk bertemu di Vida Bekasi. Pemandu itu tak lain adalah ketua APDUPI (Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia). Tak lama kemudian, Bang Saut datang. Dari tempat ini, kami bertiga ditemani menuju Waste4Change. Lokasinya tak jauh dari Bantargebang, masih di seputar kawasan perumahan Vida Bekasi.
Cara Bijak Kelola Sampah Ala Waster4Change
Wow, begitu tiba, saya melihat bangunan unik nan indah berada di tengah sawah. Kami diterima dengan ramah oleh Kang Denny Santika selaku Create Advisor Komunitas Waste4Change. Sambil menikmati suguhan kopi susu yang nikmat, kami mengobrol santai di kantor Waste4Change (baca Waste for Change). Secara harfiah, istilah ini berarti limbah untuk perubahan.