Di Masjid Inilah Saya Sekeluarga Shalat Idul Fitri. Tampak Terpal Disiapkan Untuk Para Jama'ah di Halaman Masjid/Dok. Pribadi
Mendengar berita seputar luapan material Gunung Api Raung, kami sempat khawatir saat mau mudik lebaran ke daerah Jember. Sejak awal Juli 2015 lalu, terdengar berita bahwa Gunung Raung yang letaknya berbatasan dengan daerah Bondowoso-Jember-Banyuwangi itu mengeluarkan abu vulkanik hingga mencapai ketinggian 2.000 m yang semburannya sampai ke daerah Bali. Bagi para pemudik, diminta hati-hati, terutama di sekitar lokasi, termasuk wilayah Jember bagian utara. Saya pikir, lokasi yang hendak saya tuju cukup jauh, sekitar 35-45 km ke arah selatan dari lokasi kejadian itu. Karenanya, saya cukup tenang dan mulailah saya persiapkan perjalanan mudik menuju ujung timur Jawa Timur itu.
Sore itu, kami baru bisa mudik bersama keluarga dari kota Malang. Diiringi alunan lagu Mahir Zein yang diputar melalui CD: “Thank You Allah”, kendaraan roda empat warna merah maron yang kami tumpangi meluncur menuju Jember, ujung Jatim. Tepatnya pada hari Kamis (16/7/2015), kami baru bisa berlibur untuk mudik lebaran. Kami berlima sekeluarga berangkat sekitar pukul 17.00 Wib dengan kendaraan yang saya setir sendiri. Kendaraan itu saya pacu dengan kecepatan normal, rata-rata sekitar 60-70 km/jam, kecuali di daerah yang agak sepi bisa mencapai 80 km/jam, sulit lebih dari itu, karena kendaraan relatif padat. Apalagi, saat di jalan bertemu dengan sejumlah rombongan takbir keliling, jalannya merambat kayak Keong Mas, hehe. Kebetulan saat itu bertepatan dengan malam takbiran.
Meskipun begitu, perjalanan kami sungguh menyenangkan. Hari itu merupakan hari terakhir berpuasa Ramadhan. Saya rencanakan buka puasa di jalan, sambil berhenti di masjid untuk menunaikan shalat maghrib. Tak saya duga, begitu turun dari mobil setelah parkir di salah satu masjid di daerah Pasuruan itu, saya dipersilahkan oleh seorang pengurus takmir masjid yang baik hati. “Pak, monggo pinarak rumiyin, niki dinikmati damel buka puasa sekeluarga”. Demikian dia mempersilahkan kami untuk menikmati sajian buka puasa. Matur nuwun (terima kasih), jawab saya. Sebenarnya, saya diperkenankan numpang parker untuk shalat maghrib sudah senang, pikirku. Eit, tapi dia menegaskan sekali lagi, “Estu, monggo didahar rumiyin” (sungguh, silahkan dimakan dahulu), sambil disodorkan ke depan kami satu buah nampan makanan siap saji. Akhirnya, saya terima tawarannya, mengingat begitu tulusnya dia.
Wow… setelah saya buka, terlihat makanan ala pedesaan di atas nampan disiapkan untuk kami berlima. Ada kue apem hijau, nasi, lauk pauk lengkap dan minuman. Saat anak kami yang paling kecil pegang kue apem itu, dibilang oleh seorang laki-laki di sebelahnya yang kebetulan juga pengunjung seperti saya, juga diberi makanan yang sama: “Duh enaknya, kayaknya ice cream ya Dik?”. Anak saya mesem-mesem aja, menikmati penganan khas desa berbungkus daun pisang, bentuknya kerucut, warnanya seperti ice cream itu, hehe.. dah lama gak makanan penganan sejenis itu.
Terima kasih ya Pak, atas kebaikannya. Sehabis shalat maghrib berjama’ah dan menyantap aneka makanan yang dibungkus dedaunan pisang itu, kami melanjutkan perjalanan menuju kota Lumajang. Sebelum berangkat lagi, saya lihat ada kotak amal tak begitu terlihat mencolok, berada di sudut tiang masjid. Saya terketuk untuk ambil bagian mengisinya. Alhamdulillah, saya bisa memasukkan sebagian pendapatan saya untuk amal sosial keagamaan melalui kotak amal itu. Para pengurus takmir masjid itu sesungguhnya tidak minta sumbangan pada pengunjung seperti kami, juga tidak minta uang parkir. Rasanya lebih sreg di hati, jika membantu perjuangan mereka yang melayani pengunjung masjid seperti ini, dari pada mereka yang meminta-minta melalui “kaleng amal”.
Sekitar 3 jam lebih, saya sampai di daerah Lumajang, memasuki jalur dalam kota. Kiri-kanan jalan raya tampak plaza dan toko-toko masih buka. Wow, jam 9 malam keadaan kota masih sangat ramai oleh hiruk pikuk pengunjung yang berbelanja. Saya kira, keadaan ekonomi nasional yang sedang kurang menggembirakan, diikuti oleh tingkat konsumsi yang menurun. Namun untuk barang-barang konsumsi lebaran, tampanya tak berlaku. Buktinya, sepanjang jalan raya di tengah kota Lumajang itu, kendaraan kami sulit melaju dengan cepat, merambat seperti siput, bahkan harus berhenti beberapa saat karena padatnya jalan raya. Di sepanjang jalan pusat perbelanjaan itu penuh sesak oleh orang yang berbelanja dan di kiri kanan jalan padat oleh kendaran yang parkir.
Sekitar Jam 21.30 Wib saya sampai di rumah Saudara, untuk sekedar mampir. Sebelumnya, saya informasikan bahwa hari itu saya akan mudik. Salah seorang anggota keluarga yang ada di daerah itu bilang mau numpang bersama. Maka dengan senang hati, kami ampiri mereka. Setelah bertemu mereka dan bincang-bincang seperlunya, kami melanjutkan perjalanan menuju Jember dengan penumpang tambahan. Hemm… begitu keluar kota, kendaraan sulit berjalan cepat. Ternyata arak-arakan takbir keliling masih ramai. Sejak memasuki Probolinggo, banyak kami temui takbir keliling. Namun paling ramai ada di sepanjang jalan Lumajang hingga Kencong Jember.
Kali ini, perjalanan sedikit terganggu, karena begitu padatnya jalan raya. Di depan kendaraan kami, terlihat truk dengan bak terbuka berjalan pelan, melaksanakan takbir keliling. Sementara itu, di belakang sejumlah truk dan pick-up diikuti ratusan sepeda motor yang “digleyer-gleyer” (gasnya disentak-sentak sehingga keluar bunyi keras dari knalpotnya). Mayoritas di antara mereka tak memakai helm, kemana ya Pak Polisi. Tampaknya pak polisi kuwalahan. Para petugas jalan raya itu tampak ada di antara mereka, mungkin hanya menertibkan jika terjadi tawuran atau kecelakaan. Benar saja, saat saya melintas tepat di dekat pasar Kencong, ada pengendara motor membonceng dua orang remaja, bertiga dengan sopir motornya, semuanya tanpa memakai helm lagi. Grenggg…. grenggg… sepeda motor digleyer-gleyer. Beberapa detik kemudian, darr..darrr… srettt… bruuukkkk!
Eih… motornya terlepas dari sang pengendara, terpental sekitar tiga meter ke arah kanan. Pengendara dan dua orang yang diboncengnya jatuh tepat di depan kendaraan yang saya kemudikan. Kemungkinan, dia lupa kali, saat gasnya ditarik sekencang-kencangnya, sementara gigi mesinnya tidak dalam keadaan netral, alias masih aktif. Reflek, srett… citttttttttt…. dengan spontan rem saya injak. Alhamdulillah, beruntung mereka tidak tertabrak, mobil berhenti tepat di depan mereka yang jatuh, jaraknya kira-kira hanya 1 m tepat di depan saya. Hadeeuh… malam takbiran kok dirayakan seperti itu ya, batin saya.