Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

SMBPTN 2015, Perjokian, dan Revolusi Mental

8 Juni 2015   16:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:10 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/coraliepierre.blogspot.com

Secara statistik, sebanyak 84,2 % peserta gagal dalam mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) (sumber). Padahal, sebanyak 693.185 peserta SBMPTN pada 9 Juni 2015 akan bersaing ketat masuk perguruan tinggi pilihan. Dari segi jumlah, pesertanya meningkat 4,31 persen (+ 50 ribu orang) dibanding tahun lalu. Kenaikan ini diduga karena mereka tertarik terhadap kredibilitas dan kualitas jumlah program studi yang ditawarkan oleh perguruan tinggi. Situasi ini dimanfaatkan oleh para joki untuk menembus ketatnya seleksi masuk dengan imbalan tertentu. Namun jangan main-main, bagi mereka yang terbukti menjadi joki ujian akan langsung dikeluarkan. Demikian, Ketua Umum SBMPTN 2015 Rochmat Wahab menegaskan. Ia melanjutkan, mahasiswa jangan coba-coba menjadi joki ujian SBMPTN. Daripada berkorban status kemahasiswaan, lebih baik kerja lain yang lebih halal dan bermartabat" (sumber).

Kasus Perjokian Manfaatkan Teknologi Canggih

Rupanya, dugaaan kasus “perjokian” bukanlah isapan jempol belaka. Setelah aksi mereka terbongkar pada 11 Mei 2015 lalu, diketahui setiap peserta dikenakan tarif sampai Rp 160 juta untuk jasa joki jika berhasil masuk Fakultas Kedokteran salah satu perguruan tinggi swasta favorit di Malang. Jaminannya adalah ijazah SMA asli dan kartu keluarga (KK) asli (sumber). Lima dari tujuh orang yang ditangkap diduga joki yang menyamar sebagai peserta ujian, saat para peserta mengikuti ujian tulis baru berlangsung 30 menit. Menurut sumber itu, modusnya menggunakan handy talky. Oknum itu menaruh HT di sela-sela payudaranya. Modus ini tergolong tradisional.

Modus lainnya lebih canggih. Komplotan joki menggunakan server, alat penangkap sinyal, kamera dan telepon genggam, serta magnet alat penangkap gelombang suara. Telepon genggam dan alat penangkap sinyal itu ditaruh di selangkangan yang tersambung dengan kabel yang dilekatkan dengan isolasi di tubuh peserta. Sementara magnet penangkap gelombang suara diselipkan di lubang telinga (sumber). Menurut sumber itu, kamera digunakan untuk membaca soal, disimpan di dompet kain yang sudah dilubangi seukuran lubang kamera. Kamera itu disembunyikan di paha dan meja. Ketika soal sudah terbaca kamera, maka operator akan menangkap isi soal. Kemudian operator segera mengirim jawaban ke peserta. Operatornya berada di Yogyakarta. Mereka menggunakan peralatan canggih, seperti kamera mikro berbentuk bros dan alat komunikasi. Diduga mereka juga beroperasi di luar Malang. Kasus ini sungguh memprihatinkan. Memang tidak semuanya bertindak demikian, namun kasus kasus sejenis itu masih saja sering terjadi. Untuk itu, pihak pengawas perlu mengenali peralatan canggih dan lebih jeli memperhatikan gerak-gerik peserta ujian, agar tidak “dikadali” oleh mereka yang curang.

Uniknya, kejadian semacam itu juga terjadi di negeri lain. Pada Maret 2015 lalu diwartakan kasus siswa nyontek secara massal di India, tepatnya di wilayah Saharsa, Distrik Chhapra, Vaishali, dan Hajipur, India. Tidak saja mereka menyontek secara massal, tetapi terang-terangan. Ironisnya, menurut jurnalis Dipankar, mereka sedikitnya ada 400 siswa yang dikeluarkan karena tertangkap saat mencontek. Tapi, pemerintah sendiri tidak bisa menghentikan kecurangan tersebut (sumber). Kondisi ini sungguh memprihatinkan nasib masa depan pendidikan di negara-negara bertumbuh seperti India, dan di negara-negara Asia Afrika lainnya.

Bandingkan dengan apa yang terjadi di China. Pihak pengawas ujian dituntut selalu meng-up-to-date gadget dan aneka elektronik canggih, karena kerap kali disalahgunakan sebagai sarana menyontek. Pemerintah propinsi Luoyang, Tiongkok menggunakan teknologi drone untuk mengawasi seleksi masuk perguruan tinggi. Teknologi modern itu berupa pesawat tanpa awak yang dapat terbang 500 meter di atas lokasi ujian dan mampu mengendus apabila ada sinyal radio yang dipancarkan. Setiap tahun jutaan orang di Tiongkok mengikuti "gaokao" selama dua hari, semacam SNMPTN-SBMPTN di Indonesia (sumber). Dalam situasi stress karena ketatnya persaingan, ada saja sebagian peserta yang nekat menyontek melalui peralatan canggih, seperti kamera mini yang disembunyikan di pulpen yang dihubungkan dengan mitranya di luar lokasi ujian. Aktivitas seperti inilah yang dicegat oleh drone di Tiongkok. Mereka yang ketahuan menyontek bakal dilarang mengikuti ujian selama tiga tahun, sementara anggota komplotan yang memberikan jawaban dari luar dapat dituntut pidana. 

Mental Suka Menerabas, Merusak Budaya Bangsa

Antropolog Koentjoroningrat dalam karyanya “Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan” pernah mensinyalir bahwa salah satu mentalitas manusia Indonesia yang menghambat pembangunan adalah budaya atau mental “suka menerabas”. Kaidah-kaidah pembangunan ekonomi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, karena terhambat oleh budaya semacam itu. Orang suka yang instan-instan, yang penting cepat mendapatkan hasil namun tanpa disertai dengan usaha keras. Inilah yang dimaksud dengan “mental suka menerabas itu”. Bentuk budaya semacam itu seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang nyaring disuarakan sejak era reformasi bergulir 1997-an yang lalu. Namun hingga kini, mengikis KKN tidaklah mudah, sisa-sisa budaya lama yang negatif belum sepenuhnya hilang dari budaya kita.

Dalam kindisi demikian, birokrasi yang ditata rapi pun akan menjadi rusak manakala para pelakunya masih bermental suka menerabas. Norma-norma hukum sebaik apa pun pasti menyisakan lubang. Lubang itulah yang dimanfaatkan oleh orang-orang bermental seperti itu. Lain halnya dengan sikap mental berprestasi (need for achievement, disingkat N-Ach) sebagaimana McLelland perkenalkan. Bagi orang yang memiliki N-Ach tinggi, dia hanya akan menerima reward apabila didahului dengan kerja keras. Maka tak heran, jika dalam masyarakat yang berbudaya tinggi (high culture), orang akan dihargai karena kerja kerasnya, bukan sekedar gelar yang menempel berderatan. Jepang misalnya, terkenal dengan masyarakatnya yang berbudaya tinggi. Bahkan warga Jepang rela melakukan harakiri (bunuh diri ala Jepang) hanya karena merasa malu atau kecewa atas perilakunya yang merugikan orang lain (yang ini tidak harus ditiru).

Lalu, apa implikasinya kasus perjokian di atas bagi pembangunan manusia Indonesia? Bagi Indonesia yang saat ini sedang giat-giatnya membangun, akan mengalami hambatan manakala budaya berprestasi (N-Ach) tidak menjadi budaya bangsa. Masyarakat yang ingin cepat merasakan hasil tanpa disertai kerja keras, adalah cermin dari budaya bermental suka menerabas itu. Ambil contoh bagaimana pertarungan kepentingan tatakelola perminyakan dipertontonkan, atau kepengurusan sepakbola diperebutkan baru-baru ini. Adakah mereka memperebutkan prestasi ataukah memperebutkan kepentingannya sendiri? Sementara di Tiongkok, terhadap mereka yang ketahuan menyontek bakal dilarang mengikuti ujian selama tiga tahun, bahkan anggota komplotan perjokian dapat dituntut pidana sesuai dngan hukum yang berlaku di sana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun