[caption id="attachment_419451" align="aligncenter" width="590" caption="Illustrasi (Logo Baznas Kota Malang)"][/caption]
“DPR Dukung APBN 2016 jika Presiden Jokowi Konsisten Nawacita”, demikian salah satu headline media yang diwartakan oleh Alfani (sumber, 22/5/2015). Menurut Fachri Hamzah sebagaimana dimuat di media tersebut, APBN 2016 sudah 100% Kabinet Kerja Jokowi, maka DPR tidak mungkin memberikan kelonggaran. Sebab, APBN 2016 sudah merupakan satu terobosan pengaturan penyusunan anggaran yang betul-betul berdasarkan kebijakan dan kajian kabinet Jokowi sendiri. Karena itu, Wakil Ketua DPR RI tersebut mengungkapkan, pihaknya akan menyetujui APBN 2016 jika progam dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dapat menyejahterakan rakyat dan konsisten dengan Nawacita yang dikampanyekan saat Pilpres lalu.
Salah satu program dari 9 program yang disebut Nawa Cita dalam Pemerintahan Jokowi-JK adalah program ke-5 yang berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup dan jaminan sosial. Selengkapnya adalah berbunyi sebagai berikut: “meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia Pintar"; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019” (Kompas.com, 19/5/2015).
Program tersebut kini perlu diimplementasikan, dan bukan sekedar dikampanyekan. Karena subsidi BBM sebagai salah satu bentuk jaminan sosial sudah “ditiadakan” dan dialihkan ke “infrastruktur strategis”, maka pemerintah tentu bekerja keras bagaimana “mengotak-atik” anggaran pendapatan dan anggaran belanjanya. Untuk itu, saya mencoba menghadirkan “sumber lain” yang jarang dijadikan isu strategis, padahal sumber ini dapat berperan sebagai jangkar bagi perekonomian nasional dan memperkuat program Nawa Cita. Apa itu? Kita punya lembaga yang namanya Badan Amil Zakat Nasional, disingkat Baznas.
Para Jokowi Lover tidak harus alergi terhadap semua kebijakan pemerintah sebelumnya, setidaknya terhadap satu kebijakan ini. Bahwa di akhir masa pemerintahan SBY-Budiono, telah lahir UU No. 23/2011 dan aturan pelaksanaanya, yaitu PP No. 14/2014 tentang Pelaksanaan Pengelolaan Zakat Nasional. Peraturan ini saya nilai strategis, karena setiap Pemerintah Daerah tidak harus mengeluarkan PERDA lagi untuk mengimplementasikan program tersebut. Sekaligus, kebijakan itu dapat memperkuat program peningkatan kualitas hidup dan jaminan sosial, terutama bagi komunitas miskin berpendapatan rendah. Demikian halnya juga bermanfaat sebagai "Pendamping Independen" bagi program "Kartu Sakti" yang ditebarkan, seperti “Kartu Indonesia Sejahtera”, “Kartu Indonesia Pintar”, “Kartu Indonesia Sehat”, atau “Kartu Indonesia Sabar”. Saya akan tunjukkan sebagian fakta bahwa program Baznas terbukti dapat diimplementasikan di level daerah, yaitu Kota Malang di mana saya tinggal dan saya menjadi bagian kecil di dalamnya. Saya awali dengan gambaran kemiskinan dan bagaimana program itu dapat diimplementasikan untuk membebaskan rentenir dan memproduktifkan warga miskin perkotaan.
Kondisi dan Karakteristik Kemiskinan di Indonesia
Sebagaimana kajian Judy L. Baker, Lead Ecomist, Bank Dunia untuk Indonesia yang berjudul “Indonesia: Urban Poverty and Program Review, Policy Note” (2013) ditunjukkan temuan kunci yang berkaitan dengan kondisi kemiskinan di Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian. Dalam laporannya, antara lain Baker dkk. memberikan catatan bahwa selama satu dekade terakhir, Indonesia telah menunjukkan peningkatan substansial dalam indikator ekonomi dan sosial. Namun, di perkotaan, sekitar 18 % penduduk hidup miskin atau hampir miskin, dimana angka tersebut mewakili sekitar 20 juta orang. Sejalan dengan urbanisasi yang semakin meningkat, jumlah ini kemungkinan besar akan bertambah sehingga akan melampaui kemiskinan perdesaan di tahun 2020.
Apa artinya hal itu bagi Indonesia? Kita diingatkan, bahwa sebagai negara berkembang (emerging countries), pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang telah kita capai cukup mengesankan, selepas menghadapi goncangan finansial 2007. Namun kita harus cukup tangguh menghadapi goncangan itu, karena sewaktu-waktu akan muncul kembali. Sebagaimana prediksi ekonom, ternyata kekhawatiran itu terbukti, bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia Triwulan I-2015 melambat signifikan. Kita harus cukup tangguh menghadapinya, kalau tidak negeri ini akan dihadapkan pada delima peruntukan anggaran belanja. Karena proporsi jumlah orang miskin Indonesia masih cukup besar, baik komunitas miskin di perdesaan maupun perkotaan. Bahkan, sebagian diantara mereka masih rentan untuk jatuh miskin kembali setelah berhasil dientaskan. Oleh karena itu, para ekonom memandang pengalihan subsidi BBM ke insfrastrukur strategis adalah pilihan tepat untuk jangka panjang.
Kita harus yakin, karena banyak bukti yang menunjukkan bahwa pembangunan insfrastuktur yang tepat, dapat mendorong pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Ekonomi riil dengan sendirinya akan tumbuh. Kemudahan arus orang, barang dan jasa atas infrastruktur itu akan mendorong munculnya beragam jenis usaha produktif. Kebijakan infrastruktur merupakan kebijakan dari sisi produksi yang akan melahirkan efek ganda. Singapura memiliki sumber daya alam sangat terbatas, namun bisa makmur. Ketika Singapura mampu membangun Bandara Internasional yang nyaman dan menjadi salah satu bandara tersibuk di dunia, maka terjadilah efek ganda: perdagangan laris, penginapan terjual, sekolahnya juga laku, dls. Perekonomian Singapura dibawah kepemimpinan Mr. Lee adalah contoh negara kota yang mampu membawa bangsanya menuju kemakmuran. Singapura adalah contoh negara kecil yang berhasil. Negeri kecil itu bertumpu pada pembangunan infrastruktur industri jasa yang sukses.
Berbeda dengan Singapura, wilayah Indonesia sangat luas dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa. Dalam situasi demikian, pemerataan ekonomi perlu mendapat perhatian. Pulau Jawa memang relatif lebih maju dibandingkan dengan daerah lain, namun 2/3 penduduk miskin tinggal di Jawa. kita masih menyisakan jumlah penduduk miskin yang cukup besar yang ciri-cirinya serupa dengan negara lain. Menurut catatan kebijakan Judith L. Baker (2013), masyarakat miskin perkotaan di Indonesia cenderung memiliki tingkat pendidikan rendah, bekerja di sektor informal dengan upah rendah, hidup di permukiman berkualitas rendah, kurang memiliki jaminan pekerjaan, dan mempunyai akses yang lebih rendah terhadap layanan dasar dibandingkan mereka yang tidak miskin. Sub kelompok masyarakat miskin perkotaan yang sangat rentan meliputi pendatang baru di perkotaan, tenaga kerja anak, anak jalanan, dan mereka yang hidup di permukiman informal. Secara wilayah, 2/3 masyarakat miskin perkotaan hidup di Jawa, walaupun tingkat kemiskinan di Nusa Tenggara jauh lebih tinggi” (Baker, 2013).
Dalam kondisi demikian, pemerintahan Jokowi-JK hendak mengimplementasikan Program Nawa Cita, yang secara anggaran harus mendapatakan persetujuan DPR RI. Kembali di awal tulisan, saya hendak menyajikan fakta sosial ekonomi bagaimana Baznas bisa dijadikan jangkar bagi penyelamatan komunitas miskin berdasarkan pengalaman di Kota Malang.
Baznas dan Pembebasan Kaum Miskin dari Jeratan Rentenir
Seiring ditebarkannya beragam “Kartu Sakti”, salah satu solusi menghadapi masalah kemiskinan di atas, adalah mensinergikan Nawa Cita dengan mengoptimalkan amanat UU No. 23/2011 dan PP No. 14/2014 tentang pelayanan Zakat, Infaq dan Sedekah (ZIS) yang sudah disahkan oleh DPR RI pada masa pemerintahan SBY-Budiono. Apakah ini misi yang imposible? Hemat saya tidak, ini faktanya.
Sebagai gambaran, berdasarkan Annual Report yang dilaporkan Baznas Kota Malang (Baznas, 2014: 49) bahwa pemasukan Baznas kota Malang setahun mencapai Rp 3,09 Milyar. Pemasukan sebesar itu hanya diperoleh dari zakat PNS yang ada di lingkungan Pemkot Malang. Para Pegawai Negeri Sipil (PNS) diminta kerelaanya untuk memberikan sebagian penghasilannya sebesar Rp 2,5% yang berasal dari tunjangan penghasilan (Tumpeng), bukan 2,5% dari gaji PNS. Tumpeng dipotong 2,5 persen setiap bulan secara payroll.
Bandingkan dengan Baznas di Kota religius Padang. Pada 2013 lalu, Kota Padang mampu mengumpulkan dana ZIS hingga mencapai Rp 20 milyar lebih (tepatnya Rp 20.167.080). Perolehan ZIS di Padang dapat meningkat hingga mencapai 50% dari tahun sebelumnya. Jika di Kota Malang pemotongan PNS hanya pada Tumpeng, tetapi di Kota Padang pemotongan dilakukan terhadap semua pendapatan PNS. Mulai dari gaji pokok, lauk pauk, hingga pendapatan lainnya dihitung, baru kemudian dipotong 2,5 persen. Masyarakat Padang yang religius dan pengelola ZIS yang transparan, berefek pada kepercayaan masyarakat, tidak ada yang protes di antara mereka. Demikian sebagian gambaran hasil studi banding Baznas Kota Malang yang dilaporkan dalam Annual Report tersebut. Ini sekedar fakta, bahwa ajaran tentang kewajiban zakat dan sedekah memang harus dikeloala secara profesional, bukan hanya “diceramahkan”. Wali Kota Padang menunjukkan kepemimpinan dalam menggerakkan dana sosial untuk peningkatan kualitas umat dan jaminan sosial secara efektif.
Pengalaman di Kota Malang, hanya dengan dana sebesar Rp 3,09 milyar di akhir 2014 (perolehan Baznas di akhir 2014), kini sebanyak 519 anggota di wilayah Arjowinangun dan 254 anggota di wilayah Jodipan Kota Malang dapat dientaskan dari jeratan rentenir (Laporan Baznas Kota Malang, 2014). Bagaimana ceritanya?
Sudah jamak diketahui publik, bahwa komunitas miskin sulit mengakses bank, kecuali kepada rentenir. Rata-rata pinjaman mereka sebesar Rp Rp 1 – Rp 2 juta. Untuk setiap pinjaman Rp 1 juta rupiah, diterimakan bersih kepada peminjam (debitur) sebesar sekitar Rp 800 ribu, karena ada pemotongan beaya administrasi di awal. Total pengembalian sebesar Rp 1,4 juta rupiah selama kurang dari 3 bulan. Jadi terima Rp 800 ribu harus mengembalikan Rp 1,4 juta. Bandingkan dengan pinjama di KPRI yang bunganya hanya 1 persen per tahun. Jika pinjam Rp 1 juta, terima bersih ya tetap Rp 1 juta, dengan total pengembalian hanya Rp 1,1 juta dalam jangka waktu yang lebih lama, yaitu 10 bulan.
Bagi komunitas miskin perkotan yang rata-rata penghasilannya Rp 30.000 per hari, tentu sangat berat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ironisnya, beban mereka semakin tinggi ketika mempunyai tanggungan ke kreditur (rentenir). Berangkat dari sinilah, kemudian Baznas melunasi semua hutang warga yang terlilit hutang itu, kemudian dilakukan reschedule. Warga boleh mengangsur sesuai kemampuannya, dan tidak berbunga sama sekali (0%). Efeknya, kini warga miskin tersebut bisa bernafas lega, bahkan bisa menabung. Luar biasa bukan?
Tidak hanya itu. Dana yang diberikan kepada mereka, menjadi milik warga yang bergabung dalam kelompoknya yang disebut Baitul-Mal. Modal ini juga bisa digulirkan kembali serta dapat diproduktifkan untuk meningkatkan kualitas komunitas tersebut. Baznas hanya mengoptimalkan pendistribusiannya dan mengontrol kinerjanya. Meski dalam skala kecil, tetapi terbukti bahwa ZIS adalah jangkar bagi perekonomian nasional yang tidak bisa dianggap sebelah mata.
Meski belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan warga di lima kecamatan yang ada di Kota Malang, Baznas sudah mampu berbuat dan membuktikannya. Padahal, masih ada potensi zakat dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dana Corporate Social Responsility (CSR) dari perusahaan swasta, zakat simpanan emas, dan deposito umat Islam yang belum disentuh. Hemat saya, ini potensi nasional yag belum sempat tergali. Sebagai "pengiring independen" dampak kebijakan pencabutan subsidi BBM, kiranya Baznas dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif solusi untuk memback-up cita-cita luhur tersebut. Ke depan, Baznas perlu disinergikan dengan SKPD-SKPD terkait untuk memproduktifkan dana-dana sosial semacam ZIS dan CSR. Arahnya bukan lagi untuk sekedar konsumtif atau charity, lebih dari itu dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan usaha produktif. Semoga bermanfaat!
Referensi:
Alfani Roosy Andinni. “DPR Dukung APBN 2016 jika Jokowi Konsisten Nawacita”. Sumber: http://ekbis.sindonews.com/read/1004216/33/dpr-dukung-apbn-2016-jika-jokowi-konsisten-nawacita-1432289549, diakses 22 Mei 2015.
Kompas.Com. "Nawa Cita", 9 Agenda Prioritas Jokowi-JK”. http://nasional.kompas.com/read/2014/05/21/0754454/.Nawa.Cita.9.Agenda.Prioritas.Jokowi-JK.
Baker, Judith L. 2013. “Indonesia: Urban Poverty and Program Review, Policy Note”. Jakarta: Indonesia.
World Bank. 2012. Protecting Poor and Vulnerable Households in Indonesia. Jakarta, Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H