[caption caption="Ilustrasi/Migran Suriah Diterima di German/spravy.cohladas.sk"][/caption]
Seorang ilmuwan di Peterson Institute for International Economics, berpandangan bahwa “Arus Pengungsi Bisa Berdampak Positif bagi Ekonomi Eropa” (Kompas.com, 8/9/2015). Pasalnya, menurut media itu, arus pengungsi dari Suriah dan negara-negara yang dikoyak perang nekat menyeberang ke sebagian negara kaya di Eropa, seperti Jerman dan beberapa negara lain. Menurut Kirkegaard seperti dikutip Media itu, “bahwa Jerman dan beberapa negara lain di Eropa memiliki banyak penduduk lanjut usia, dan membutuhkan angkatan kerja baru untuk melanjutkan pertumbuhan ekonomi”.
Masih menurut Kirkegard, sebagian besar migran relatif muda dan sangat ingin punya pekerjaan. Dia menambahkan, mereka pada akhirnya akan membayar pajak kepada negara di tempat mereka kini berada. "Menurut pendapat saya, secara keseluruhan, hal ini jelas menguntungkan!", demikian simpulan Kirkegaard seperti dikutip oleh media itu.
Ini persolan hidup dan mati. Bahkan, “Demi Perbesar Peluang Tinggal di Jerman, Para Migran Timteng Ganti Agama” (Kompas.com, 6/9/2015). Akar masalah ini bermula dari sisi kemanusiaan, mencari perlindungan. Dalam situasi dan kondisi darurat, apapun tentu akan dilakukan untuk mencari keselamatan hidup. Ini manusiawi banget. Rasa aman (security) merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, siapapun mereka, tak pandang bulu dari mana asalnya dan latar kehidupan mereka pasti merindukan hal itu.
Pasca kematian Aylan Kurdi yang ditemukan telah tewas di tepi pantai beberapa minggu lalu, mengundang simpati dunia. Salah satunya adalah relawan wanita Sydney Australia, Dr. Swinncer, yang ikut ambil bagian dalam membantu para pengungsi Suriah. Dia mengatakan hal yang mencerahkan: "Mereka ini orang tak berdosa yang melarikan diri demi menyelamatkan hidupnya. Mereka bukan teroris, mereka melarikan diri dari terorisme" demikian ujar Dr Swincer seperti ditulis kembali oleh pemilik Akun Kompasiana yang tinggal di Australia, Tjiptadina Effendi dalam artikelnya “Kaum Wanita Australia Turun Tangan Bantu Pengungsi” (5/11/2015).
****
Sekilas Kondisi Populasi Dunia pada Tahun 2015-2050
Menurut United Nations (PBB), populasi dunia sebanyak 7,3 milyar pada pertengahan 2015 sebagaimana ditunjukkan pada table 1 ini, menyiratkan bahwa telah bertambah sekitar satu miliar orang dalam rentang 12 tahun terakhir. Sebanyak 60% dari populasi dunia tinggal di Asia (4,4 milyar), 16 % di Afrika (1,2 milyar), 10 % di Eropa (738 juta), 9 % di Amerika Latin dan Karibia (634 juta), dan sisanya 5 % di Amerika Utara (358 juta) dan Oceania (39 juta). Cina (1,4 milyar) dan India (1,3 milyar) tetap sebagai kedua negara terbesar di dunia dalam hal jumlah penduduk dengan lebih dari 1 miliar orang, masing-masing mewakili 19 % dan 18 % dari populasi dunia (United Nations, New York, 2015).
Menurut prediksi World Bank, bahwa selama 35 tahun ke depan (2015-2050), pertumbuhan populasi dunia tercepat akan terjadi di Afrika, yang akan menambah 1,3 miliar orang selama periode tersebut. Kenaikan 109 persen ini jauh melebihi perubahan proporsional terbesar di kawasan manapun. Sedangkan Asia akan tetap menjadi kontributor terbesar kedua dalam peningkatan populasi dunia, sementara Eropa diperkirakan akan mengalami populasi menyusut, menurun sebanyak 4,3 % selama 35 tahun ke depan.
Data-data kependudukan di atas menyiratkan, bahwa Eropa, termasuk dalam hal ini Jerman, disinyalir kekurangan penduduk usia produkif yang menjadi aset tenaga kerja bagi negaranya. Dalam konteks kasus di atas (pengungsi Suriah), kiranya relevan apabila pandangan Kirkegaard menjadi salah satu pertimbangan untuk menerima para pengungsi tinggal di Jerman.
Pengaruh Jumlah Penduduk Usia Muda Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Pandangan Kirkegaard di atas menarik untuk didiskusikan, mengingat sebagian besar pemerintah Eropa, bahkan negara-negara Arab sendiri terkesan “enggan” menolong mereka. Hal ini tentu bisa dipahami, jangankan untuk menolong penduduk negara tetangga, Yunani misalnya, untuk menolong rakyatnya sendiri keluar dari kemelut sosial ekonomi pun masih terseok-seok. Di Asia Tenggara sendiri, kasus manusia perahu Pengungsi Rohingya yang dibiarkan begitu lama terapung-apung di tengah laut, adalah salah satu bukti lainnya, bahwa banyak negara yang acuh tak acuh terhadap nasib mereka.
Bagi banyak negara, menolong para migran mungkin dianggapnya justru akan memicu timbulnya banyak masalah berantai. Namun dilihat dari perspektif ekonomi, pandangan Kirkegaard di atas menarik, bahwa menolong pengungsi Suriah justeru akan menimbulkan dampak positip bagi percepatan pertumbuhan ekonomi di Jerman. Loh kok bisa?