Bahagia itu sederhana. Hanya dengan berbagi kasih di gubuk tengah sawah, mampu menghadirkan suasana hangat di antara komunitas Bolang. Bahkan, Si Mila yang putri keluarga broken home itu, meneteskan air mata di pelukan Bolang. Haru bercampur ceria. Bagaimana kisahnya?
Kaos biru Bolang berlogo Kompasiana di punggungnya/dok. pribadi
Baiklah, kisahnya dipermula dari gubuk mungil tengah sawah milik Pak Rahman. Sawah seluas satu hektar itu, ditanami jagung manis dan sayuran. Gubuk unik itu dilengkapi dengan sumur, dapur, dan kamar tidur. Pak Rahman sering melepas penat di sela-sela bekerja di tempat ini. Untuk menuju gubuk mungil itu, harus melalui pematang sawah. Gubuk itu seolah menjadi saksi "Bolang Berbagi Kasih" pada Sabtu lalu (01/10).
Jalan menuju gubuk tengah sawah milik Pak Rahman/Dok. pribadi
Mbak Desy berpose bersama petani di tengah jalan dari dan ke menuju gubuk tengah sawah/dok. pribadi
Bolang's Angle lagi memasak di dapur gubuk/dok. pribadi
Berada di gubuk tengah sawah pada event Bolang Berbagi/dok. pribadi
Si Mila dan Gubuk ItuMila adalah pemilik nama lengkap Rasha Jamilatun Nuriya. Siswi kelas V MI di desa Wangkal itu, sehari-hari tidak tinggal bersama orang tuanya. Pasalnya, kedua orang tua kandungnya sudah bercerai. Ayah kandungnya tinggal di Batu, sementara ibu kandungnya tinggal di Precet. Setelah bercerai, masing-masing kedua orang tuanya menikah lagi. Sementara itu, Mila tinggal bersama neneknya.
Kala Mila dijemput Bolang dipandu Pak Rahman, ia sedang berada di rumah saudaranya yang ia sebut “kakak”. Ia tampak malu-malu. “Apa dia itu kakak kandung Mila?”, tanya saya. Mila menggelengkan kepala. Apa dia saudara sepupu? Mila menjawab, “tidak tahu”. Siapa yang Mila paling ridukan selama ini? Adikku, jawabnya singkat. Adiknya itu masih balita, satu ibu lain bapak dengan dirinya. Ibu kandungnya kini sudah menikah lagi dan tinggal di daerah lain.
Mila saat dijemput Bolang, di desanya, Wangkal, Poncokusomo, Malang/Dok. Pribadi
Sesaat suasana gubuk itu hening. Bolang berinisiatif menawarkan buah semangka padanya. Mila terdiam, hanya terdengar ucapan lirih, “
terima kasih”. Kata ini, mencerminkan perasaan
sungkan, duga saya. Seperti galibnya budaya Jawa yang basa-basi. Jika serius, maka harus ditawarkan beberapa kali. Maka saya coba tawarkan lagi, “
Mila, ambillah buah semangka ini. Hari ini adalah hari baikmu!”.Mila menerimanya, dilanjutkan dengan pemberian bingkisan kreasi Mbak Desy hasil penjualan buku Mak Renta dan support Bolang. Suasana gubuk makin hidup. Ada yang memasak dan ngobrol santai tentang agenda Bolang dan persiapan beli tiket menuju Kompasianival 2016 yang dikoordinir oleh Mas Hery. Sekira ada 10 anggota Bolang siap menghadiri event Kompasianival Berbagi 2016.
Rasha Jamilatun Nuriya, Siswi MI Mathla'ul Huda, Wangkal, Poncokusomo, Malang saat menerima bingkisan Bolang/Dok. Pribadi
Makanan hasil olahan Mbak Lilik dan
Bolang's Angle (sebutan untuk perempuan Bolang) telah siap di gubuk. Ritual makan bersama dimulai. Hanya berbekal lauk tempe hangat dan sambel ulek bikinan Mbak Rara, makan bersama terasa nikmat. Tak kalah berkesannya dengan jamuan
Candle Light Dinner di hotel sekelas
The Royal Pitamaha, Ubud, Bali; kala saya mendapat kehormatan Kompasiana untuk menghadiri event
BlogTrip Pesona Budaya Bali, pada 8-10 November 2015 lalu.
Makan bersama di gubuk tengah sawah/Dok. pribadi
Tempe, makanan khas Bolang saat di gubuk tengah sawah/Dok. pribadi
Sambal pelengkap menu, saat makan bersama Bolang di gubuk tengah sawah/dok. pribadi
Usai makan-makan,
Bolang's Angle berfoto ria di sekitar gubuk areal persawahan. Mas Hery dan Mas Hariadi bertindak sebagai fotografer. Lalu diikuti oleh yang lain. Kebetulan, di gubuk tersedia
capil-capil petani
.Di tangan
Bolang's Angle, benda itu digunakan sebagai properti mewah pelengkap aksi potret memotret, hehe :).
Fotografer Bolang, Mas Hery/Dok. pribadi
Bolang's Angle dibawah bidikan Mas Hariadi/Dok. pribadi
Bolang's Angle bercapil petani, dari kiri ke kanan: Mbak Erent, Desy, dan Lilik/Dok. pribai
Bolang Berbagi di gubuk tengah sawah milik Pak Rahman/Dok. pribadi
Air Mata Mila dan Pelukan BolangCuaca panas disertai hujan. Angin sawah sepoi-sepoi basah menerpa gubuk. Jam menujukkan pukul 13.40 Wib. Usai shalat dzuhur di tempat yang sama, kami bersiap undur diri, sebelum hujan deras tiba. Sementara itu, Mila duduk di bangku bawah gubuk. “Apa cita-cita Mila?”, tanyaku. Mila menjawabnya pendek, “dokter”.
Lihat Humaniora Selengkapnya