Akibatnya, pasar tenaga kerja “seret”, banyak penganguran. Demikian seterusnya, seolah membentuk “lingkaran setan”. Bahkan bagi pemerintah juga terasa, karena pajak yang diterima ikut menurun, sebagai implikasi dari turunnya daya beli masyarakat dan lesunya perekonomian. Memang kondisi riil perekonomian di lapangan tidak sesederhana ini. Namun begitulah gambaran simpel inflasi dan efeknya terhadap daya beli, bila ditinjau dari sisi permintaan (demand side).
Dilihat dari sisi penawaran (supply side), belakangan ini justeru Amerika Serikat menghendaki segera terjadi peningkatan inflasi. Mengapa? Mereka berharap kondisi perekonomian negaranya kian membaik, setelah terkena krisis finansial dan efek domino perekonomian global.
Salah satu caranya, Bank Sentralnya AS (The Fed) berusaha menaikkan suku bunganya. Namun pada saat yang sama, mata uang US$ ini harus berhadapan dengan mata uang China. Karena pada saat yang sama, China justeru menurunkan nilai mata uangnya sendiri (Yuan). Aksi-reaksi dalam perekonomian ini seolah mencerminkan perang mata uang (currency war).
Tujuan China menurunkan nilai mata uangnya adalah, agar daya saing ekspornya ke dunia internasional meningkat, termasuk ke Amerika Serikat. China berharap, dengan penurunan mata uang itu, lesunya pertumbuhan ekonomi negeri penggagas “Pasar Bebas Sosialis” itu segera pulih. Sungguh pun begitu, negeri Tirai Bambu itu masih dihadapkan pada situasi yang sama, ternyata jurusnya tidak sedemikian ampuh. Pertumbuhan ekonomi China masih relatif stagnan hingga akhir tahun 2015.
Ringkas kata, prospek perekonomian global 2016 masih membutuhkan perjuangan keras untuk mencapai ke tingkat yang lebih tinggi. Konsekwensinya, setiap negara akan berjuang demi kebaikan nasib bangsanya sendiri-sendiri. Maka setiap aksi dari pelaku negeri lain, tentu akan mempengaruhi negara lainnya, terutama bagi negara-negara yang secara ekonomi bersentuhan dengan mitra dagangnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Poin yang hendak saya katakan adalah, bahwa dunia kini berada dalam kondisi saling ketergantungan, sebagai konsekwensi dari sistem perekonomian terbuka. Implikasinya, ada persaingan sekaligus peluang kerja sama. Akibat persaingan di antara negara-negara penghasil minyak misalnya, menyebabkan harga-harga minyak dunia belakangan ini turun.
Hukum permintaan dan penawaran barang berlaku. Negeri pengkonsumsi minyak dalam jumlah besar tentu beruntung, seperti Indonesia. Karena harga minyak dunia turun, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) kita lebih aman untuk sementara waktu.
Masalahnya, ketika angka kemiskinan kita meningkat, apakah pemerintah tetap melakukan subsidi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau tidak, itu sebuah pilihan. Dalam konteks ini, negeri penghasil minyak seperti Saudi Arabia, memangkas sejumlah subsidi harga untuk rakyatnya. Mengapa? Agar anggaran pendapatan dan belanja pemerintahnya tetap stabil. Sementara pemerintah kita, seperti diberitakan di media massa, sejak per 5 Januari 2016 justeru menurunkan harga BBM. Indonesia secara berangsur-angsur tapi pasti, juga melakukan penghapusan subsidi harga BBM.
Namun, motivasi penghapusan subsidi antara Arab Saudi dengan Indonesia berbeda. Arab Saudi mengalami goncangan anggaran karena pemasukan dari minyaknya menurun, akibat turunnya harga minyak dunia. Karena itu, Saudi Arabia memangkas sejumlah subsidi kepada rakyatnya. Sementara Indonesia mendapatkan keuntungan karena harga minyak dunia turun, dan karena itu negeri kita menurunkan harga BBM.
Beruntung, saat ini Indonesia dihadapkan pada harga minyak dunia yang relatif lebih murah dibandingkan kondisi sebelumnya. Sayang, penerimaan pajak 215 seperti dilansir BBCIndonesia (04/01/2015) hanya tercapai sekitar 83 persen dari target. Namun Indonesia tetap melakukan penghapusan subsidi harga BBM, untuk dialihkan penggunaannya pada pembangunan infrastruktur dasar seperti pembangunan jalan-jalan baru, jembatan, bendungan untuk irigasi, dan sebagainya.
Solusi Aternatif
Melihat kondisi kemiskinan di Indonesia, baik di perdesaan maupun perkotaan seperti digambarkan secara statistik pada awal paragraf di atas, hemat saya subsidi harga tetap perlu dan diberikan secara selektif. Namun bukan subsidi sosial seperti Bantuan Tunai Langsung (BLT) yang pernah dilakukan pada masa pemerintahan sebelumnya, karena subsidi semacam ini tidak memberikan efek peningkatan produktivitas.