Di Kota Malang, terdapat sekitar 28 pasar tradisional. Pada umumnya tempat aktivitas ekonomi rakyat itu masih belum tertata dengan baik, sehingga terlihat kumuh. Salah satu cara yang ditempuh oleh Pemerintah Daerah, antara lain merevitalisasi pasar tradisional menjadi pasar modern. Sebagian di antaranya melibatkan investor, seperti yang terjadi pada revitalisasi Pasar Dinoyo, Pasar Blimbing dan Pasar Induk Gadang di kota Malang.
[caption caption="Kondisi Pasar Dinoyo di Merjosari Kota Malang pada hari Minggu sore (6/12/2015)/Dok. Pribadi"]
Jika melibatkan investor, tentu investor memilih lokasi yang strategis. Ketiga pasar yang direvitalisasi di atas, tergolong strategis tempatnya. Karenanya, investor memilihnya. Sementara pasar-pasar tradisional lain seperti pasar Bareng, Bunulrejo, Cemorokandang, Kebalen, atau Kedungkandang mungkin kurang menarik di mata investor. Namun jika semua anggaran revitalisasi pasar diserahkan kepada pemerintah, anggaran Pemkot tidak mencukupi.
Masalah lainnya, pembangunan fasilitas dan infrastruktur pasar yang melibatkan investor, rawan terjadi konflik antara pemerintah daerah dan para pedagang saat relokasi. Menata fasilitas dan infrastruktur pasar tradisional cukup dilematis. Ada tarik menarik antara pertimbangan sosial, lingkungan dan ekonomi. Merespon masalah ini, dirasa perlu kehadiran Balitbang PUPR untuk membuat inovasi fasilitas dan infrastruktur pasar yang murah, aman dan nyaman berplatform sosial tanpa harus kehilangan nilai ekonomisnya.
Keberadaan pasar, di satu sisi adalah kebutuhan, namun di sisi lain berdampak pada masalah sampah dan kesehatan lingkungan. Pasar Dinoyo dan pasar tradisional Merjosari misalnya, berada di dekat permukiman padat penduduk. Di sekitar pasar itu juga terdapat banyak pedagang kuliner yang berpotensi menumpuk sampah. Untuk mengatasinya, perlu pendekatan terpadu. Mengatasi timbunan sampah tak cukup hanya dilakukan dengan cara mengangkut sampah dari tempat produksinya, kemudian dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
[caption caption="Onggokan sampah terlihat menumpuk di depan Pasar Dinoyo, Merjosari Kota Malang, pada Minggu sore hari (6/12/2015)/Dok. Pribadi"]
Solusi yang dapat penulis ajukan berbentuk perpaduan antara inovasi aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan teknologi terapan yang bersifat umum (generic) sebagai berikut:
Pertama, mengubah paradigma pengelolaan sampah lama yang masih bertumpu pada pendekatan akhir (end of pipe) menuju paradima baru 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yang lebih efektif dan efisien. Paradigma ini sejalan dengan amanat Undang Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Kedua, melibatkan aktivis lingkungan atau komunitas peduli sampah. Mereka dijadikan bagian tak terpisahkan dari upaya pengelolaan dan pemanfaatan sampah. Budaya gotong royong yang ada di tingkat Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Ibu-ibu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga), kelompok pengajian, majelis taklim, dan komunitas sejenis terus dipupuk dan dikembangkan menjadi “modal sosial” yang produktif.
Ketiga, memperkuat “modal sosial” di atas dengan memberikan “pancingan” (stimulus) berupa belanja modal untuk menghasilkan nilai tambah ekonomi, misalnya Balitbang PUPR memfasilitasi pembuatan mesin produksi inovatif pengolah sampah. Limbah pasar tradisional yang berasal dari aneka jenis plastik, diolah menjadi produk baru yang bernilai ekonomi, seperti rege (sejenis tempat makanan), karung/tas plastik, tas kresek, dan lain sebagainya yang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara sampah organik, diolah menjadi bahan pupuk untuk pertanian dan peternakan.
Keempat, memasukkan nilai ekonomis ke dalam tatakelola pendukung infrastruktur sampah. Katakanlah komunitas peternak cacing “Adam Community” di daerah Sukun Malang yang memiliki ribuan anggota peternak, dapat memanfaatkan limbah tersebut sebagai bahan pakannya. Komunitas semacam ini, dijadikan sebagai jejaring pasar yang saling mengutungkan. Intinya, seiring dengan hadirnya inovasi mesin pengolah sampah, mesti disiapkan jejaring pasar yang mampu menyerap produksi mereka.