[caption caption="Ki Hadi Syahrul di Pondok Tukang Sapu Sumur 7/Dok. Pribadi"][/caption]
“Saya ini ora duwe ngilmu, aku iki Jowo lugu, saya tahu hanya kaweruh”. Demikian pengakuan Ki Hadi Syahrul, juru kunci “Wisata Religi Sumur 7” (baca Sumur Pitu) pada saat saya wawancarai (15 Oktober 2015) di rumahnya. Ia menggunakan kombinasi bahasa, antara Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Jika saya terjemahkan, kalimat pad awal paragrap di atas artinya sebagai beriut: “saya ini tidak punya “ilmu”, saya ini orang Jawa lugu, saya tahu hanya kaweruh”.
[caption caption="Ki Hadi Syahrul, Penjaga Wisata Religi Sumur Pitu/Dok. Pribadi"]
Ki Hadi Syahrul, sehari-hari sering dipanggil Pak Hadi atau Pak Syahrul oleh masyarakat setempat. Saat saya mengunjungi Pantai Wisata Balekambang dalam rangka event “Bamboo Beach Gathering” pada 15-16 Oktober 2015 lalu yang didakan oleh Blogger Kompasiana Malang (Bolang), saya sempat mampir di Wisata Religi Sumur 7 dan bertemu Pak Syahrul. Lokasi wisata itu berada di dekat area Pantai Balekambang, sekitar 65 km dari pusat Kota Malang. Wawancara itu berlangsung pada malam Jumat, 15 Oktober 2015 di tempat tinggalnya yang juga berfungsi sebagai warung. Wawancara saya lakukan, selepas ia pulang dari hutan bambu Sumur Pitu, setelah sebelumnya saya membuat perjanjian dengannya.
[caption caption="Identitas Ki Hadi Syahrul, Juru Kunci Sumur Pitu/Dok. Pribadi"]
Banyak hal yang ia ceritakan pada saya dan kawan-kawan, saat kami mewancarainya di warung miliknya. Lokasi warungnya tepat berada di depan pantai Balekambang. Salah satu yang menarik perhatian saya, ialah ketika dia membedakan antara ilmu dan kaweruh. Cara pandangan dunianya (world view) yang unik. Pemahamannya kental dengan filosofi Jawa ala Ki Syahrul, khususnya tentang “Ilmu” yang ia bedakan dengan “kaweruh”.
Apa beda “Ilmu” dan “Kaweruh” itu?
Menurut Pak Syahrul, bahwa “Ilmu” itu “wejangan” (petuah), sementara “Kaweruh” itu “wijenan” (artinya pembenihan, dari kata “wiji” yang berarti “benih”). Menurutnya, karena “ilmu” itu berasal dari “wejangan” seseorang, maka perlu “dijajal” (diuji coba) untuk membuktikannya. Sedangkan “kaweruh” itu, merupakan ilmu bathin (wijenan). Karena itu tidak perlu “dijajal”, namun cukup “dilakoni” (dijalankan apa adanya) dan “dirasakan” (dirasakan secara bathin).
[caption caption="Salah satu tempat ritual "Olah Roso", di hutan Sumur Pitu"/Dok. Pribadi"]
Dia mencontohkan soal “gaman” (senjata, pen) dengan mengatakan: “Iki loh gaman, jajalen!”. “Tuwo opo enom, tak jajale” (“Ini lho senjata, coba aja buktikan”. Apakah senjata itu tua ataukah muda, saya coba”. Kata tua (“tuwo”) di situ menunjukkan arti simbolik bahwa “sesuatu” (senjata misalnya) itu ampuh atau sakti, sedangkan “muda” (“enom”), merujuk pada arti kurang ampuh atau kurang sakti. Jika sesuatu itu adalah pisau, maka perlu dicoba apakah pisau itu benar-benar tajam atau tidak. Contoh ini untuk menggambarkan bagaimana “ngilmu” itu berarti “wejangan”, yang untuk menunjukkan kehebatannya perlu “dijajal” atau dicoba.