[caption caption="Panjat Pinang/Ilustrasi/BBC Idonesia"][/caption]Setiap tanggal 17 Agustus, masyarakat antusias memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan RI, yang pada tahun ini bertepatan dengan HUT yang ke-70. Uniknya, sampai saat ini masih terdapat kontroversi, apakah lomba panjat pinang dalam rangka memperingati HUT RI itu dipandang mendidik atau sebaliknya? Demikian halnya dengan lomba-lomba sejenis, seperti lomba balap karung dan lomba makan kerupuk yang acapkali menyertai gegap gempita kemeriahan peringatan hari kemerdekaan negeri tercinta, Indonesia.
Saya tertarik menuliskan artikel ini, saat saya membaca ragam komentar di media sosial. Setidaknya, ada dua kelompok yang berpandangan sangat kontras. Di satu sisi, para sejarawan menganggap budaya panjat pinang disinyalir merupakan warisan Belanda dan tidak dianggap mendidik, sebaiknya kegiatan semacam itu selama peringatan HUT kemerdekaan 17 Agustus dihindari. Sementara netizen menganggapnya itu sekedar hiburan rakyat. Masak Istana Bogor harus dibongkar, gara-gara itu merupakan warisan Belanda? Ada lagi yang berkomentar, lebih baik nonton hiburan panjat pinang semacam itu dari pada nonton sinetron yang (maaf) kurang “bermutu”, begitu kira-kira mereka berdalih.
Sejarawan Asep Kambali dari Komunitas Historia Indonesia misalnya, berpendapat bahwa rangkaian perlombaan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia seperti panjat pinang dan balap karung, tak punya efek positif dalam momen kemerdekaan (www.bbc.com, 11/8/2015). Bagi Asep, hari kemerdekaan itu diperingati sebagai upaya untuk mengenal sejarah dan budaya bangsa dengan mengenali para pejuang karena mereka yang melahirkan bangsa ini, dan memberikan kesempatan untuk menikmati kemerdekaan dengan mengorbankan keringat, darah dan air mata, demikian tegasnya di media yang sama. Mestinya, masih menurut Asep di media itu, banyak hal yang dapat dilakukan untuk memperingati 17 Agustus, seperti napak tilas, lomba pembacaan proklamasi, atau lomba mirip pahlawan.
Dalam paragraf keempat, sebagaimana dimuat di media itu, dikatakan bahwa kegiatan panjat pinang, yang disinyalir diperkenalkan oleh kaum Tionghoa yang sudah ada di Indonesia sejak abad ke-5, adalah "peninggalan kolonial karena memang itu mewabah dan penetrasinya hebat di zaman Belanda", demikian menurut Asep. Hal senada juga diungkapkan oleh Sejarawan lain, Dharma, bahwa "panjat pinang” adalah warisan kolonial yang kurang mendidik. Apa sih bangganya kalau menang panjat pinang misalnya di kelurahan?" (bbc.com, 11/8/2015). Dari perpsektif sejarah, tampaknya mereka memandang kegiatan itu sebagai warisan kolonial yang dipandang tidak mendidik dan tidak relevan untuk perayaan momen peringatan HUT RI.
Mungkin hal itu bisa ditafsirkan untuk kepentingan kolonial dan penetrasi penjajah lewat budaya (baca pembodohan) pada waktu itu. Mereka merasa terhibur saat menyaksikan warga saling menginjakkan kaki ketika memperebutkan “hadiah” yang bergelantungan di atas pucuk pohon pinang. Seolah mengambarkan bagaimana pertarungan kepentingan politik praktis dalam memperebutkan jatah “kursi”. Untuk mendapatkan jatah “kursi” harus ada pihak lain yang diinjak. Semoga tidak demikian yang senyatanya.
Tetapi di sisi lain, hal itu bisa ditafsirkan selain sebagai hiburan rakyat yang murah, kegiatan panjat pinang merupakan simbol bahwa untuk mendapatkan “hadiah” harus saling bekerja sama, harus ada pihak lain yang bersedia diinjak kedua pundaknya secara berantai untuk kepentingan bersama; kalau tidak, mustahil hadiah itu bisa didapatkan. Dibalik keseruan dan kelucuan itu, ada nilai kebersamaan, dan kebersamaan itulah yang lebih penting.
Sementara itu, Twitter Indonesia meluncurkan gerakan Nyalakan Indonesia #RI70, mengajak penggunanya menggunakan tagar #RI70 setiap kali berbagi konten tentang tradisi, destinasi, dan inspirasi unik yang akan dikurasi dan dikumpulkan dalam situs www.nyalakanindonesia.com. Di akhir kegiatan, akan dibagikan kembali kepada para penggunanya. Tujuan gerakan ini adalah untuk mempersatukan masyarakat Indonesia dalam merayakan hari Kemerdekaan ke-70 Indonesia (Kompas.com, 14/8/2015). Sedangkan para blogger yang tergabung dalam Rumpies The Club (RTC), menyemarakkan momen peringatan HUT kali in dengan mengadakan lomba puisi yang akan ditampilkan di Kompasiana pada kolom Fiksiana.
Lomba Balap Karung dan Makan Kerupuk, Di Mana Unsur Pendidikannya?
Panjat pinang hanyalah simbol, bahwa rakyat ingin berpartisipasi dalam perayaan hari kemerdekaan, sekaligus mendapatkan sesuatu yang menghibur. Demikian halnya dengan lomba sejenis seperti balap karung dan makan kerupuk. Di saat perekomian bangsa yang lagi sulit seperti saat ini, seolah menjadi pengabsah bahwa rakyat butuh hiburan. Apalagi ketika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika hingga menembus level terendahnya, sekitar Rp 13.500-an per 1 US dollar. Di level ekonomi mikro, hasil panen tomat di Garut Jawa Barat tidak laku, sehingga sempat dibuang ke selokan. Demikian pula harga brambang (bawang merah) di Ponorogo Jawa Timur sempat jatuh. Para petani di level akar rumput hanya bisa mengeluh. Harga daging sapi pun sempat melonjak hingga di atas angka Rp 140.000-an per kg. Pada saat suasana seperti itu, dapatkah dijadikan alasan bahwa lomba panjat pinang masih bisa disebut mendidik dan perlu dipertahankan? Hemat saya, sulit mencari alasan yang tepat.
Dalam perspektif pendidikan (formal), acapkali pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana, bertujuan untuk mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, melalui serangkaian proses pembelajaran yang telah distandarkan. Ada standar kurikulum, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pembeayaan, proses pembelajaran (mulai perencanaan sampai evaluasi), dan lain sebagainya.
Mendidik bukan berarti sekedar kegiatan berkumpul dan saling bertukar informasi, apalagi hanya dalam waktu sesaat. Jika kegiatan panjat pinang sulit ditemukan unsur pendidikannya, mengapa harus diulang-ulang setiap tahun? Alasan mudahnya, karena kebiasaan dan disukai oleh masyarakat. Nah kebisaan itu sesungguhnya bagian dari pendidikan. Membiasakan hidup bersih, disiplin, mencintai kejujuran, atau menghagai karya orang lain yang berprestasi, juga merupakan bagian dari pendidikan. Demikian halnya membiasakan sesuatu yang kurang bermakna. Uniknya, dalam rangka peringatan Agustusan di lingkungan pendidikan formal (sekolah), acapkali kita temukan anak-anak sekolah bersuka ria mengikuti lomba balap karung dan lomba makan kerupuk. Di sekolah, dewasa ini sudah jarang saya temukan lomba panjat pinang, tetapi lomba balap karung dan makan kerupuk masih ada.