Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Indonesia Mau Hutang Lagi, Efektifkah?

25 Mei 2015   15:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:37 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanda-tanda negeri kita mau hutang lagi ke lembaga keuangan internasional, tampaknya akan terulang kembali. Padahal, dalam Konferensi Asia Afrika 2015 beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi mengkritiknya dengan mengemukakan  bahwa masalah ekonomi dunia hanya bisa diselesaikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF, dan ADB merupakan pandangan yang sudah usang dan perlu dibuang. Namun menyimak kondisi perekonomian nasional yang melambat pada triwulan I-2015, tampaknya hutang akan menjadi salah satu opsi agar defisit anggaran bisa diatasi.

Hal itu terkait dengan penjelasan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang beranggapan bahwa kondisi perekonomian Indonesia saat ini masih memerlukan suntikan utang luar negeri karena anggaran yang masih defisit. Namun, pemerintah masih belum memberikan sikap terhadap tawaran pinjaman dari Bank Dunia sebesar 12 milyar US$ beberapa waktu lalu (Kompas.com, 24/5/25). Indikasi RI akan pinjam lagi ke Bank Dunia sepertinya sulit dielakkan, selain karena aggaran kita defisit, peneriman negara dari dari sektor pajak belum bisa diandalkan, dan pembangunan infrastruktur yang membutuhkan anggaran yang sangat besar. Kodisi ini dilematis, apa yang sebaiknya di lakukan?

Beberapa Alternatif kebijakan Jangka Pendek dan Jangka panjang

Hemat saya, ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan: pertama, dalam jangka pendek, pemerintah mesti mengoptimalkan lagi kinerja lembaga perpajakan. Pasalnya, masyarakat sudah terlanjur tahu bahwa dengan diterapkannya remunerasi, gaji para pegawai di lembaga ini tergolong sangat tinggi. Hal itu sebagaimana tercantum pada Peraturan Presiden No. 37/2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak yang telah ditandatangi Presiden pada Maret 2015 lalu.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan target pajak. Besaran “tunjangan kinerja” itu cukup fantastis. Sekedar untuk diketahui, untuk jabatan “Pranata Komputer Pelaksana Pemula” diberi insentif sebesar 12.316.500,00, pejabatan struktural eselon IV sebesar 28.757.200,00,  pejabatan struktural eselon III sebesar Rp 46.478.000,00, pejabat struktural eselon II sebesar 81.940.000,00, dan tunjangan kinerja peringkat tertinggi (pejabat struktural, eselon I) mencapai Rp 117.375.000,00 (Sumber, Perpres No. 37/2015). Atas dasar ini, kiranya bukan berlebihan jika masyarakat berharap agar penerimaan negara yang bersumber dari pajak semakin meningkat, sejalan dengan prestasi kinerja para pegawai Ditjen pajak. Namun harus dipahami, bahwa kondisi perekonomian yang kurang baik, dapat berefek kepada “kepercayaan” publik. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat agar kepercayaan masyarakat  tetap terjaga.

Kedua, untuk menggerakkan roda perekonomian sektor non migas, pemerintah lebih aktif mendorong kemunculan ekonomi kreatif. Sektor UKM dan ekonomi kreatif anak-anak muda usia produktif semakin digalakkan. Syukur jikalau mereka mampu mengekspor produknya hingga menembus pasar Masyarakat Ekonomi Asia (MEA) dan pasar global. Hemat saya, banyak anak muda kreatif yang membutuhkan apresiasi dan diberi kepercayaan agar kompetensi dan usaha kreatif yang dijalankkannya dapat berkembang. Sektor uaha yang padat karya perlu diutamakan, sehingga mampu menyerap tenaga kerja lebih besar. Sementara industri yang padat modal, diarahkan pada usaha industri strategis yang menyangkut hanjat hidup orang banyak, seperti industri pangan dan sumber energi yang bersifat jangkat panjang.

Ketiga, langkah terakhir baru pinjam ke lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia. Kita tidak perlu malu pinjam ke luar negeri, jika peruntukan pinjaman tersebut memang sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi pembangunan infrastruktur strategis. Melalui perhitungan yang cermat, hemat saya negeri kita masih mampu mengembalikan di kemudian hari, asal kebocoran anggaran dapat dikontrol dengan baik.  Dengan demikian, dalam jangka panjang, Indonesia akan memperoleh multiplier effect atas pembangunan infrastruktur tersebut. Sungguhpun begitu, harus dipilih pinjaman mana yang paling efisien dan risikonya tidak terlalu besar bagi perkembangan ekonomi sektor riil dan kontraksi pasar domestik.

Beberapa usulan di atas, menegaskan kembali bahwa “ketika pemerintah” saat ini sudah menyatakan diri sebagai kabinet yang beorientasi kerja, kerja, dan kerja;  maka cara apapun yang ditempuh sebaiknya memilih pendekatan dari sisi produksi, yaitu menggerakkan variabel-variabel ekonomi yang mampu mendorong sektor riil dapat hidup. Memang, pemerintah dapat saja memilih risiko aman, dengan cara menargetkan penerimanaan anggaran yang kecil atau target pertumbuhan ekonomi juga kecil dengan tanpa hutang.

Namun, target tersebut tidak menunjukkan seberapa kuat kehendak pemerintah untuk bekerja keras. Anggaran penerimaan negara sekitar Rp 1.700 triliun pada masa pemerintahan sebelumnya, dapat ditingkatkan lebih besar lagi. Risikonya, jika target pencapaian terlalu tinggi dari pada realisasinya, masyarakat bisa memandang kinerja pemerintah kurang berhasil. Oleh karena itu, target tinggi paling rasional yang sudah ditetapkan itulah yang perlu diupayakan sebaik-baiknya agar terlampaui. Dalam konteks ini, saya  sependapat, jika hutang ke luar negeri adalah salah satu solusi. Dengan catatan, harus dipastikan bahwa tidak ada kebocoran dalam penggunaan anggaran yang bersumber dari dana pinjaman luar negeri.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun