Mohon tunggu...
Mas Yunus
Mas Yunus Mohon Tunggu... Dosen - Beyond Blogger. Penulis ihwal pengembangan ekonomi masyarakat, wisata, edukasi, dan bisnis.

Tinggal di Kota Malang. Bersyukur itu indah. Kepercayaan adalah modal paling berharga. Menulis untuk mengapresiasi. Lebih dari itu, adalah bonus.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Malang Kota Cerdas: “Kota Pendidikan & Wisata, Apa yang Mesti Dibenahi?"

29 April 2015   05:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:34 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Unik, tukang parkir menerima uang parkir di lahan yang bukan dia miliki. Bahkan, baik pemilik toko atau si pengguna parkir tidak protes, kepada siapa uang parkir itu diberikan? Retribusi parkir di kota Malang, kalau dikumpulkan mungkin jumlanya ratusan juta bahkan milyaran rupiah; tetapi uang parkir yang masuk ke kas Pemkot bisa dicek sendiri, saya yakin sangat tidak sebanding dengan yang seharusnya diterima oleh Pemkot. Ini perlu ditertibkan, salah satu solusinya “hak parkir” bisa dijual seperti semacam “token pulsa”, atau “kartu parkir”, dibayarkan di muka lalu pengguna tinggal menerima layanan parkir.

Tetapi pajak hotel dan sejenisnya, perlu diberlakukan pajak secara online. Mungkin masalahnya bukan pada masalah teknis pemungutannya, tetapi lebih kepada keberanian mengurai jaringan pengelola parkirnya. Sementara untuk pajak hotel masalahnya terletak pada masalah "kepercayaan" dan keterbatasan SDM yang paham tentang dunia pariwisata. Sepertinya, retribusi parkir dianggap sepele dan dibiarkan karena menyangkut hajat hidup kelompok miskin; tetapi secara sosiologis hal ini melibatkan jaringan dibalik layar. Sayangnya, hal ini belum menjadi perhatian utama. Padahal penertiban ini ikut mempengaruhi kelancaran perekonomian kota.

Ketiga: Perkuat Baznas sebagai Jangkar Sosial Ekonomi Komunitas Miskin

Seiring dengan diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat dan PP No. 14 Tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaannya, hak dan wewenang pemungutan zakat secara nasional berada di Badan Amil Zakat Nasonal (Baznas), termasuk Baznas Pemkot. Artinya, lembaga lain dilarang melakukan kegiatan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, kecuali mendapat izin resmi Baznas sebagaimana diatur dalam PP tersebut. Sayangnya, potensi zakat umat Islam yang besar (secara nasional diperkirakan 170 triliun/tahun), belum dioptimalkan oleh sejumlah pemerintah daerah.

Saya pernah terlibat dengan teman pengelola Baznas di pertengahan 2014. Menurut teman itu, Kota Malang, dengan pemasukan Baznas hanya dari pegawai negeri di lingkungan Pemkot Malang, telah terkumpul sekitar Rp 2,4 milyar/tahun. Laporan terbaru dalam Annual Report Baznas Kota Malang, jumlahnya kini mencapai 3,09 milyar/tahun. Itu pun sudah mampu memberdayakan para janda dan kaum miskin yang terjebak rentenir, meskipun belum mampu mengcover seluruh kebutuhan warga miskin kota yang tersebar di lima kecamatan.

Kota cerdas yang ramah, sudah sayognya mampu menyapa warganya di wilayah yang paling miskin sekalipun. Saat ini, masih dijumpai ada warga di wilayah paling miskin (Tanjungrejo Kec. Sukun) yang ukuran rumahnya kira-kira 2 x 2 m, semua aktivitas sehari-hari dilakukan di situ. Pasti belum memenuhi syarat sebagai tempat tinggal yang layak. Sayangnya, dana zakat belum cukup untuk itu. Namun bagi mereka yang terjerat rentenir, dapat terbebaskan setelah diberi bantuan zakat. Diantara mereka kini makin rajin menjalankan shalat, setelah terbebas dari lilitan hutang.

Dari segi ekonomi, bahkan mereka telah mampu mendirikan "baitul mal", semacam lembaga keuangan inklusif. Melalui kegiatan baitul mal ini, komunitas miskin di daerah Arjowinangun, pinggiran kota Malang, mampu mendirikan beragam jenis usaha kecil seperti mendirikan usaha ternak ulat, usaha kerupuk, kiripik buah, dan bakso. Bahkan ada produksi Pitza Kentucky yang pangsa pasarnya telah merambah ke daerah lain sampai menjangkau wilayah Pasuruan. Ini salah satu bukti, dana zakat bisa diproduktifkan. Baznas telah bersikap ramah terhadap kaum miskin yang layak ditolong, bukan layak dimanfaatkan.

Ke depan, penghimpunan dan pendayagunaan zakat perlu makin dioptimalkan dan diperluas jangkauannya. Idealnya, setiap kelurahan memiliki satu lembaga baitul mal, dan setiap RW memiliki unit pengumpul zakat (UPZ) di bawah koordinasi Baznas Kota. Secara kelembagaan, perlu didesain model institusi zakat yang kokoh agar benar-benar menjadi instrumen bagi pembangunan komunitas (community development) rumah tangga miskin perkotaan. Selain itu, kehadiran Baznas bisa menjadi alternatif bagi berbagai program pemberdayaan masyarakat yang sering dinilai gagal, karena program subsidi semacam ini lebih mengedepankan pendekatan proyek, yang penting ada output untuk laporan pertanggungjawaban, buka outcome-nya. Ini beda dengan Baznas: pendayagunaan zakat produktif.

Mmm…masih banyak sih impianku, tapi di atas tadi mungkin sudah terlalu banyak. Tapi jujur, ini saya ungkapkan karena kecintaanku sebagai seorang warga terhadap komunitas kotanya. Kapan ya, kota kita makin cerdas nan ramah...? Ayo dukung, sambil tetap kita kritisi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun