Mohon tunggu...
M Wiyono
M Wiyono Mohon Tunggu... Guru biasa -

Ustad Virtual yang selalu menjawab dengan tulisan dan menggali data melalui bacaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Malu dan Korupsi

3 Januari 2014   15:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:12 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Telah kita ketahui bersama bahwa bangsa sibuk mengatasi persoalan korupsi, di banyak lini pemerintahan telah terbukti adanya praktik korupsi, tak sedikit pejabat negara masuk bui akibat prilaku korupsinya terbukti dipengadilan. Rasanya tak etis untuk menyebuktkan satu persatu dari sekian orang yang terlibat di dalamnya. Penulis hanya ingin urun rembug untuk mengatasi korupsi dengan cara menginternalisasi diri dengan sifat malu.

Jabatan bukanlah sebuah kehormatan tetapi persoalan mas’uliyaat (pertanggungjawaban), jabatan adalah amanah yang harus dipikul untuk mengatur keharmonisan, kesejahteraan secara kemanusiaan, jabatan bukanlah alat untuk aji mumpung memperkaya diri sendiri dengan cara bathil. Salah satu faktor yang tidak bisa menghambat laju pertumbuhan korupsi ialah tipisnya sifat malu yang dimiliki oleh para koruptor. Jika seseorang untuk berbuat kesalahan tidak malu kepada manusia apalagi malu kepada Tuhannya. Sifat malu adalah puncak dari segala dorongan amal baik dan buruk, Pantas saja jika Raghib al-Asfahani mengatakan, “Malu adalah menahan jiwa agar tidak mengerjakan perbuatan tercela. Malu juga menahan diri dari mengerjakan perbuatan yang diinginkan hawa nafsunya, Makhluk yang mengerjakan sesuatu bebas sesuai dengan keinginannya mak makhluk tersebut seperti binatang”. Malu adalah segala-galanya, Nabi saw bersabda;

Malu itu (mendatangkan) kebaikan seluruhnya.”(HR. Bukhâri-Muslim)

Tidak mengherankan ada orang yang berbuat baik kemudian malu, pun demikian ada yang enggan meinggalkan maksiat karena malu juga. Pendek kata, malu adalah sifat yang beranak pianak melahirkan sifat yang lain, malu identik dengan hidup, dimana orang hidup maka sifat malu harus ditanam secara dalam di lubuk hatinya. Orang yang tidak punya malu menunjukkan sebagian sifat ke-insanannya telah mati.

Arti malu bila dilihat dari sudut kata, malu atau hayaa’ seakar dengan kata hidup atau hayaat. Ibnul Qayyim menegaskan, Sedikitnya rasa malu tanda hati dan ruh mati. Oleh karena itu apabila hati itu hidup, rasa malunya akan lebih sempurna.” Kurang lebih demikianlah.

Koruptor yang menggondol uang rakyat, pada saat melakukannya pasti tidak punya sifat malu, bahwa uang tersebut adalah milik negara yang diperuntukkan untuk kesejahteran ummat banyak, tetapi karena dorongan nafsu hewani yang rakus sehingga tak malu untuk di ambilnya. Malu ini harusnya dilekatkan dalam setiap perbuatan kecuali untuk mencari ilmu, pada term mencari ilmu rasa malu harus dibuang jauh. Tak perduli kepada siapa yia berguru hatta kepada anak kecil sekalipun.

Seandainya sifat malu itu bercokol dihati para ummat maka sifat rakus dalam pribadinya mudah untuk ditumbangkan, termasuk untuk pejabat, sayangnya budaya malu sudah mulai redup seiring dengan berbagai kepetingan pribadi dan ambisi yang berlebihan. Sifat malu inilah yang nantinya bakal menjadi terapi untuk memperkecil korupsi jika tidak bisa menghapusnya sama sekali.

Rasul Saw bersabda :

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

Sesungguhnya di antara apa yang didapati manusia dari kalam nubuwwah yang terdahulu adalah “apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah semaumu”(HR. Al Bukhari / 6120)

dan akhirnya kitapun harus belajar ngaca

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun