Ku tatap tanpa kedip matahari yang mulai merona merah di ufuk barat, sambil sesekali ku teguk ludah sendiri untuk memabasahi kerongkongan yang mengering karena memikirkan perubahan sikap dan dirimu yang kian berubah, berubah tak banyak kata, sapaanmu yang dulu membuat degup jantung berdebar keras, kini sayu bagai bunga layu.
Saat matahari menghilang, bersembunyi dalam bayang mega merah, pikiranku semakin penuh tanda tanya dalam hati yang sedang dirundung galau dari senja hingga malam tiba, semakin mengecil yang diharapkan dalam jejak hidupmu, dulu engkau yang ku puja seoleh sengaja menenggelamkan diri bersama tenggelamnya matahari, dahulu dirimu yang banyak kata kita, kini sunyi seolah sengaja mengantar senja rona menjadi malam sunyi nan gelap gulita, asa yang sempat ku gayuh punah, kebaikan darimu yang ingin ku rengkuh musnah, semua ditelan kisah kisah senja merona yang tanda tanya
Ketika malam mulai mengayunkan gelapnya, tak lagi kutemukan mega merah, apalagi sinar mentari yang selalu setia membagi percikan sinarnya menerangi hati, kau bagai seonggok patung bisu dimana guratan reliefnya menetap dalam jendela naluriku, ku sadari sepenuhnya dukaku hanya untukku, curahan hati galau ku hanya Tuhan siap mendengarku. Ku mulai tersadar dengan ramah seraya bangkit dari singgasana duduk di kursi senjaku.
Rambat malam yang terus menggelinding memaksa, memaksaku untuk bersimpuh menangis kejang memohon petunjukmu, mencari obat yang dapat menenangkan diriku yang digelayuti sedih, duka nestapa dan galau dari waktu senja kemudian bersemayam hingag malam tiba. Seolah aku tinggal sendiri di dunia ini dan hanya Engkau wahai Tuhanku yang siap ku bagi pengaduanku. Tak butuh lagi kawan atau teman, karena mereka bagai tamu yang hadir kemudian pulang, bagaikan burung yang hinggap lalu terbang, Aku yang merenung dalam sujud kepadamu, hanya bisa mendoa, semoga aku mampu samarkan sedihku pada malam, pada siang dan kepada makhluk yang melintas di alam ini.
Semakin kuat pendirianku, berdiri di atas keyakinan tegapnya kaki sendiri dalam menghadapi pedih, diri ini semakin yakin bahwa tak satupun yang mampu memahami perasaan ini, kecuali dirimu Tuhan..., dengan termenung, tanpa ku sadari air mata berlinang saat galau disapa senja yang kini telah bersemayam hingga malam tiba.
Oh… Tuhan, berikan aku kawan untuk berbagi sedih, berikan aku teman untuk menghibur hati…
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H