[caption id="attachment_238590" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu sudut di kampung Pekojan. (Foto-foto: M.Taufik Budi Wijaya)"][/caption]
Kamis(19/8) petang di Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Arus kendaraan mulai memadatijalan raya,di tengah perkampungan padat penduduk.Asap kendaraan dan debu jalanan berbaurjadi satu. Sebentar lagi maghrib tiba,waktu berbuka puasabagi kaum muslim. Layaknya seperti di daerah lain, berbagai penganankhas Ramadhan, seperti kolak pisang dan kue jajanan pasar mulai dijajakan dipinggir jalan atau mulut gang.
Uniknyapedagang yang berjualan di Pekojantak sekadar warga asli atau Betawi. Ada juga pedagang berdarah Tionghoa dan Arab Hadramaut , sekarang dikenal dengan Yaman.FaisolAlAmri, salah satu pedagang berdarah Arabyang ikutberjualan di depan rumahnya yang sederhana.
[caption id="attachment_238600" align="alignleft" width="300" caption="Warga Pekojan, Faisol Al Amri bersama istri"][/caption]
Di meja dagangan tersaji buah kurma , kolak, sampai kue jajanan pasar.Faisolmenuturkan tradisi berjualan dibulan puasaoleh etnis Cina atauArabsudah berlangsung sejak lampau.Namun lelaki 48 tahun yangberistri keturunan Tionghoa tersebuttak ingat, waktu persisnya.Yang jelas, kata Faisolkehidupanwarganya guyub danrukun, mesti berbeda etnis dan agama. Selain agama Islam, sebagianwarga Pekojan menganut agama Budha dan Kristen.
Pekojan sejakabad 18 telah ditetapkan Pemerintah Kolonial Belanda sebagai kampung Arab. Sejumlah bangunan bersejarah Islamabad 18 masih tersisa di sini. Sebut saja Masjid Langgar Tinggi dan Masjid Jami Annawier.
[caption id="attachment_238602" align="alignright" width="225" caption="Salah satu sudut Masjid Jami Annawier, saksi bisu bangunan bersejarah Islam di Pekojan "][/caption]
Abdul Haer, warga Pekojan lainnyasaya temui saattengah mengaji. Lelaki paruh bayaitu lahirdan dibesarkan olehorang tuanya yangasli Jawa.Meskitinggaldenganmasyarakat yang beretnis dan agamaberbeda,merekasaling menghormati danmembantu. “Gotong royong masih kuat. Bapak bisa datang ke sini, kalau ada acara hajatanperkawinan etnis tertentu misalnya. Warga saling berinteraksi. Demikian halnya jika ada musibah, Pekojan baru baru ini, tertimpa musibah kebakaran di RW 09. Warga saling membantutanpa melihat etnis dan agamanya,”tuturnya.
Di Pekojan juga ada tradisi unik menyambut Hari Raya Idul Fitriatau Lebaran yang dirayakan kaum muslim. Anak anak muda akan berkeliling kampung sambil memukul bedugdan silaturahmi ke rumah warga. Salah satu tokoh masyarakat Pekojan, Parijon HS menuturkan tradisiinimencerminkan pluralisme warganya yang berbeda etnis dan agama. “Tujuannya bersilaturahmi dan bersalam-salaman. Terus kue yang disediakan si tuan rumah diambil dan dicicipi,” jelasnya.
Cermin toleransi warga Pekojan, kataLurah Pekojan, Wargiyo jugaberlangsungsaatperayaan agama non Islam .” Misalnyajika umat Kristiani,menggelar kebaktian, wargaMuslim ikut mengamankan lokasi lokasi peribadatan.”
[caption id="attachment_238610" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid Langgar Tinggi, bangunan bersejarah Islam Abad 18 yang tersisa di Pekojan "][/caption]
36 ribu warga kampung Pekojan membericontoh indahnya hiduprukun, mesti berbeda etnis dan agama. Nilai-nilai pluralismeituakan terus dijaga dan dirawat warganya. Menurut Abdul Haer toleransi bisa tumbuh dengan baik karena, warganyasaling bersilaturahmi dan berkomunikasi. Setiap persoalan yang muncul di tengah masyarakat diselesaikan lewat dialog. “Pertemuan, misalnyadigelar di kantor RW. Kebetulanbeberapa ketua RT, berasaldari berbagai macam etnis.Dialog tersebutdiharapkan bisa mengembangkan kerukunan antar umat beragama,” pungkasnya(Fik)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H