Mohon tunggu...
M.Taufik Budi Wijaya
M.Taufik Budi Wijaya Mohon Tunggu... profesional -

"Satu langkah kecil seorang manusia, satu langkah besar bagi kemanusiaan"-Neil Armstrong. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Kami dicap Penganut Aliran Sesat...”

9 Juni 2010   04:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:39 1599
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption id="attachment_162360" align="alignleft" width="300" caption="Penganut Sunda Wiwitan (Sumber foto: sundawiwitan.blogspot.com)"][/caption]

Suatu hari di tahun 1980-an. Warga Cigugur,Kuningan, Jawa Barat tengah menyiapkan perayaan Seren Taun. Dewi Kanti Setianingsih kecil, ikut sibuk menyiapkan tradisi pergantian tahun sekaligusungkapan rasa syukur penganut agama Sunda Wiwitan tersebut. “Waktu itu saya masih balita. Ketika upacaraSeren Taun itu sudah kami siapkan dengan baik. Saya melihat bagaimana antusiasme sesepuh bagaimana menyiapkan umbarampai upacara, hiasan dari janur . Dan Tiba-tiba, sejumlah aparat keamanan datang meluruk. Ruangan itu dirusak. Dapur kami dihancurkan, diberantakan oleh aparat-aparat, ada yang ditendang. Kami dianggap sebagai aliran sesat.Kami akhirnya melindungi diri.Itu sangat menyakitkan… Maaf saya jadi teringat lagi,” kenang Dewi . Perempuan 34 tahun itu, terdiam, matanya berkaca-kaca.Pipinya basah dengan air mata. Saya ikut terdiam. Turut merasakan kesedihannya.

Ancaman Kekerasan dan Diskriminasi

Tindakan sewenang-wenangaparat adalah salah satu perlakuan burukyangkerapditerima penganut kepercayaan Sunda Wiwitan.Alasannya keyakinan yang datang sebelum masuknya Islam itu dinilai sesat. “Sebenarnya Sunda Wiwitan itu tradisi leluhur yang secara turun temurun baik spiritual maupun seni budaya. Pada era penjajahan itu direvitalisasi oleh Pangeran Madrais. ” Menurut Dewi Kanti,kitab suci penganut Sunda Wiwitan diantaranyaSang Hyang Siksa Kanda Karsian. Artinya hukum menuju kesejatian, suatu tuntunan manusia Sunda. “Juga ada Amanat Galunggung, kalau di Cigugur kami bukukan yang namanya Pikukuh Tilu,”jelasnya.

Selain mengalami kekerasan, penganut agama Sunda Wiwitan rentan terhadap diskriminasi. Mendapatkan dokumen kependudukan seperti KTP bukan hal yang mudah. Juga kartu keluarga sampai surat nikah. Persoalannya berpangkal kepada kepercayaan yang dianut Dewi Kanti yang belum diakui negara. Saat ini baru 6 agama yang mendapat pengakuan, Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. “Negara belum mengakui kami,” keluh DewiKanti. Meski belum mendapat pengakuan negara, itu tak membuat Dewi Kanti menanggalkan ajaran Sunda Wiwitan. Justru hal ini jadi amunisi perjuangan bagi kaum Sunda Wiwitan. “Jadi lewat Yayasan Trimulya salah satunya advokasi, pengembangan budaya, bagaimana mempertahankan kearifan lokal, bagaimana menjembatanidialog antar agama adat dan keyakinan di nusantara,” terang Dewi Kanti.

Marko Mahin dan Kaharingan

Selain Dewi Kanti penganut kepercayaan lain yang saya temui adalah Marko Mahin. Saat bertemu dengannya tahun lalu, Marko tengahmenuntaskan studi doktoralnya di Universitas Indonesia. Dia adalah penganut Kaharingan. “Kaharingan adalah nama Suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Agama ini sudah ada sebelum masuknya agama lain di Kalimantan yakni Budha, Kristen, dan Islam. Kemudian berkembang.  Jika kita tanya orang Dayak agamanya apa? Dia akan menyebut agama Kaharingan,” beber Marko membuka perbincangan kami di bawah pohon rindang Kampus UI Depok.

Kaharingankata Markoartinya kehidupan.Sejak 1972, ibadah rutin penganut Kaharingan berlangsung saban Kamis atau malam jumat di tempat ibadah yang disebut balai basarah. Sementarakitab sucinya bernama Panaturan, yang bersumber dari tradisi lisan yang ditulis dan dikhotbahkan. “Para penganut Kaharingan percaya kepada Allah yang satu, yang mereka sebut Ranying Maha Thala Langit . Allah itu monotheis, dia tuhan yang maha esa, “jelas Marko.

Di KTP Marko, kolom agama diisi dengan tulisan ‘Kristen’. Tapi dalam keseharian, ia menjalankan tradisi dan ritual Kaharingan. “Saya mendalami sejak tahun 1997. Kenapa itu terjadi? Karena Kaharingan itu menyangkut identitas Orang Dayak. Jadi orang Dayak yang ingin mengetahui identitas dirinya minimal dia harus menolehkepada Kaharingan. Itu alasan saya mengapa memilih Kaharingan.”

Meski pemerintah daerah Kalimantan Tengah telah mengakui keberadaan agama Kaharingan, namun cap buruk bagi penganutnya, kata Marko masih ada. “Saya pernah dikatakan murtad, kawan kawan menyebut saya seperti itu.Dituding penyembah berhala dituding melakukan praktik perdukunan. Tujuannya agar saya tak menoleh pada saudara-saudara yang menganut Kaharingan. ”

Hak Sipil Terlanggar

Marko meneliti agama Kaharingan untuk studi doktoralnya di Universitas Indonesia. Ia mencatat sejumlah pelanggaran hak-haksipil penganut Kaharingan. Misalnya di bidang pendidikan. “Karena di sekolahnya tak ada guru Kaharingan, mereka disuruh ikut pelajaran agama lain, misalnya di sekolah itu ada 2-3 orang, maka dia disuruh gabung, walaupun caranya halus. Dan itu juga menyulitkan akhirnya itu mendapatkan nilai agama dia harus datang ke rumah ibadah Balai basyarah untuk mendapatkan nilai,”paparnya.

Marco dan Dewi Kanti berharap kepercayaan yang mereka anutmendapat pengakuan dari negara. Mereka juga berharap parapenganut kepercayaan yang berakar dari adat dan tradisi mendapat hak yang sama.Dan tak lagi dicap sebagai penganutaliran sesat. (Fik)

Bersambung

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun