Mohon tunggu...
Muhammad Prihatno
Muhammad Prihatno Mohon Tunggu... lainnya -

Kebenaran itu: Tidak punya orang tua Tidak punya tanah air Tidak punya bangsa Bahkan... Tidak punya agama Ia hanya punya TUHAN

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah Pendamping Hukum Rakyat Bengkulu (SPHR-B) dalam Membangun Kedaulatan Pengelolaan Kekayaan Alam dan Keadilan Ekososial

10 Desember 2014   21:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:36 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pemaknaan sekolah yang dikembangkan oleh SPHR-B adalah sebuah wadah tempat belajar yang isi pendidikannya disesuaikan dengan kebutuhan murid-didik dengan menggunakan pola-pola pendidikan orang dewasa yang partisipatif. Alasan membangun sekolah dengan paradigma tersebut adalah agar kegiatan pendidikan tidak dilandasi oleh keterpaksaan dan juga proses pendidikan akan terhindar dari kejenuhan. Selain itu paradigma pendidikan yang dikembangkan di sekolah ini adalah bahwa proses pendidikan bukan untuk memenuhi tuntutan pasar yang industrialis tetapi berdasarkan kebutuhan hakiki yang benar-benar dibutuhkan murid-didik. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan beragamnya persoalan yang dihadapi masyarakat, dimana masing-masing daerah memiliki persoalan spesifiknya sendiri. Selain keragaman persoalan sosial peserta-didik juga terdapat keragaman kapasitas yang kadangkala memiliki disparitas yang cukup tinggi antar peserta-didik. Kondisi ini memang menyulitkan bagi SPHR-B dalam menemukan standarisasi metode pendidikannya.

Proses pendidikan yang biasanya dilakukan oleh lembaga pendidikan formal memang mendasarkan metode pendidikannya pada suatu capaian kualitas yang telah distandarisasikan sehingga input peserta-didiknya dapat dikategorisasikan, sementara SPHR-B mendasarkan metode pendidikannya tidak diawali oleh suatu capaian yang telah ditetapkan tetapi dari kondisi peserta-didik yang capaian kualitasnya di”ketemukan” dari peserta-didik itu sendiri bukan di”tetapkan” dari awal mula proses pendidikan.

Pola yang seperti ini mengharuskan pengelola SPHR-B memiliki kualifikasi tertentu, yaitu memiliki kemampuan untuk “membaca” peta awal peserta-didik sebagai bahan masukan awal yang selanjutnya mampu dikembangkan menurut proses pendidikan yang dikehendaki. Hal ini mensyaratkan bahwa dalam menjalankan proses pendidikannya, SPHR-B, memulainya dari peningkatan kapasitas dewan guru terutama penumbuhan kemampuan mengolah wilayah “rasa” atau “sensitivitas sosial” sehingga proses pendidikan yang dijalankan akan benar-benar bergerak dari kondisi sosial masyarakat yang krusial sehingga asumsi bahwa setiap proses pendidikan yang dijalankan SPHR-B harus berkaitan dengan signifikansi sosial akan terwujud. Pentingnya hal ini adalah untuk menjadikan pendidikan tidak seperti pola gerak yang mekanistis seperti sebuah roda kereta api yang berjalan di atas relnya, akan tetapi seperti roda mobil yang berjalan di atas kontur jalan yang berliku dan berlobang; penuh dengan dinamika. Sehingga, pengelola SPHR-B, dituntut untuk mampu berkreatifitas dalam membaca fenomena pendidikan pada wilayah sasaran.

Selanjutnya, untuk menyikapi kondisi sosial peserta-didik yang beragam maka metode pendidikan yang dilakukan adalah dengan membangun “peta diri” peserta-didik, baik itu kondisi pribadinya maupun kondisi lingkungan sekitarnya. Dengan cara seperti ini diharapkan akan diketemukan specific problem yang oleh karenanya akan menjadikan pola pendidikan memiliki intensitas yang kontekstual pada wilayah sasaran tersebut. Secara teknis hal ini dilakukan dengan membandingkan antara “keinginan” dengan “kebutuhan” sehingga dapat diketemukan titik-temu negosiatif antara kedua hal tersebut. Dan, hal inilah yang dapat disebut dengan “peta diri”. Peta diri ini pada langkah selanjutnya menjadi fokus utama pendidikan. Dan juga akan menentukan titik tekan pendidikan untuk tingkatan pendidikan lanjutan.

Namun, terlepas dari itu semua, memang hal-hal standar dari sebuah pendidikan tetap menjadi acuan, seperti: pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang kontekstual dengan kebutuhan, pendidikan yang menyadarkan, pendidikan yang berbasis pada kebutuhan dan yang lebih penting lagi adalah pendidikan yang mampu menciptakan kedaulatan berbasis keadilan.

Sebagai lembaga yang menekankan pada titik-tekan Hukum Rakyat maka SPHR-B selalu menjadikan issue ini sebagai issue sentral dan menjadikan Hukum Rakyat sebagai perspektif dan cara pandang dalam membaca setiap fenomena yang terjadi dalam proses pendidikan. Pada posisi seperti ini kendala yang diketemukan adalah justru pada Hukum Rakyat itu sendiri yaitu dengan belum sempurnanya teori Hukum Rakyat, dan untuk mengatasinya, SPHR-B, mencoba memulainya dari makna substansial dari Hukum Rakyat sedangkan untuk bangunan teknisnya digali dari hukum-hukum yang pernah atau masih berlaku di komunitas masyarakat. Dalam perjalanannya, untuk penumbuhan kesadaran pada peserta-didik, pola seperti ini ternyata efektif, meskipun pada saat penyusunan pendekatan pola hukum rakyatnya masih diketemukan kesulitan terutama pada penumbuhan pemahaman tentang korelasi Hukum Rakyat dengan Hukum Mainstream.

Hukum mainstream dengan kekuatan dominasi strukturalnya telah terbukti efektif dalam “menghancurkan” kebijakan Hukum Rakyat bahkan sampai pada titik ketidakpercayaan lagi pada Hukum Rakyat itu sendiri. Posisi seperti ini memang terasa sangat menyulitkan bagi pengelola SPHR-B dalam menjalankan misi-sucinya. Untuk mengatasi kendala seperti ini maka strategi yang dilakukan adalah dengan menghimpun rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat kemudian dioverlay dengan Hukum mainstream dan Hukum Rakyat sehingga diketemukan kesadaran bahwa Hukum Rakyat untuk posisi strategis tertentu lebih mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Dengan strategi penyadaran yang seperti ini, memudahkan peserta-didik untuk menentukan proses pendidikan tingkat lanjut, karena dengan cara ini, hal-hal yang menjadi kebutuhan peserta-didik mampu dirumuskan.

Selanjutnya untuk lebih mempertebal kesadaran peserta-didik, SPHR-B, melakukan proses yang dinamakan proses “kenal diri”, yaitu dengan mengeksplorasi potensi diri melalui metode brain stroming dengan mengajukan beberapa kata kunci. Hal ini dilakukan untuk mengetahui potensi diri peserta-didik sehingga proses pengorganisasian yang akan dilakukan akan lebih mudah dan efektif. Artinya, untuk mengetahui “siapa melakukan apa” dapat diketahui dengan relatif mudah.

Proses “kenal diri” ini menjadi suatu yang sangat penting karena untuk menghindari pelaksanaan sebuah aktivitas yang masih kental dengan paham borjuisme. Atau dengan kata lain bahwa dalam sebuah pengorganisasian, peran bukan ditentukan dari unsur “tua” tetapi ditentukan berdasarkan kapasitas diri.

Langkah penting lainnya yang dilakukan SPHR-B adalah membangun kesadaran akan lingkungan, baik itu secara ekologis, ekonomis maupun budaya. Khusus mengenai budaya dapat di awali dengan kreasi seni rakyat. Dari kreasi seni rakyat ini SPHR-B berusaha menemukan nilai-nilai ekstratifnya yang substansial sehingga diketemukan kebijakan lokal sebagai raw material dalam memformulasi Hukum Rakyat yang kontekstual, tentu saja hal ini dilakukan bersama-sama dengan peserta-didik.

Langkah tersebut mengharuskan SPHR-B tidak saja melakukan aktivitas pendidikannya dalam ruangan (sistem kelas) tetapi juga kegiatan di luar ruangan. Ativitas luar ruangan ini dilakukan setelah proses pendidikan dalam ruangan dilakukan. Bentuk kegiatan luar ruangan ini didapat dari hasil penyusunan rencana tindak lanjut dan rekomendasi aktivitas pendidikan dalam ruangan.

Strategi ini adalah dalam rangka untuk menghindari keterputusan proses pendidikan dan untuk mempertegas identitas-diri peserta-didik sebagai Pendamping Hukum Rakyat.

Dengan aktivitas pendidikan luar ruangan membuat kegiatan pendidikan lebih beragam dan dapat dipastikan terhindar dari rutinitas proses pendidikan yang menjemukan. Sistem pendidikan yang tidak menjemukan ini menjadi keharusan dan ciri khas SPHR-B.

Di luar semua penjelasan di atas, tentu saja SPHR-B juga memfasilitasi peserta-didik dengan keterampilan yang bersifat teknis, seperti advokasi dan lain sebagainya.

Satu hal lain yang semestinya dilakukan oleh SPHR-B adalah menemukan pola pendidikan untuk anak-anak karena, dalam dunia pendidikan, ketika proses pendidikan dilaksanakan pada orang dewasa maka tingkat resistensinya tinggi sementara pada anak-anak tingkat keterterimaannya jauh lebih mendalam. Untuk itu perlu dilakukan kajian dan diskusi khusus dengan melibatkan para pihak. Pentingnya aktivitas pendidikan untuk anak-anak ini adalah dalam upaya untuk melakukan regenerasi Pendamping Hukum Rakyat sehingga proses rekayasa sosial benar-benar berjalan dengan efektif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun