Mohon tunggu...
mohammad endy febri
mohammad endy febri Mohon Tunggu... Administrasi - Orang awam

Asuh fikiran, lahirkan keyakinan...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pelajaran Tematik buat Ayah Bunda

25 Januari 2016   17:16 Diperbarui: 25 Januari 2016   19:14 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seperti  Anda yang mungkin juga punya anak usia Sekolah Dasar, tiap malam atau dini hari sebelum buah hati ke sekolah, kita selalunya mengecek kembali semua buku pelajarannya. Memastikan agar tak ada buku tulis yang terlewatkan. Begitu juga dengan buku pedoman mata pelajarannya. Tapi, sering ada yang janggal rasanya bagi saya.

Sebagai generasi yang mengenyam bangku Sekolah Dasar puluhan tahun lalu, saya sedikit canggung. Kita terbiasa menjenguk mata pelajaran untuk esok hari, lalu buku bersangkutan saja yang kita bawa. Itu hal Pertama.

Keduanya, saat mengajar anak malam hari. Ketika ditanya, anak saya yang kelas satu itu lebih banyak tidak tahunya apa yang akan dihadapi esok. Alhasil, selain Pekerjaan Rumah (PR), ayah dan bundanya menggunakan feeling saja. Memakai perasaan, kira – kira pelajaran apa yang kurang dikuasainya atau yang sudah lama tak diajarkan.

Ketiga, dalih anak saya ‘pelajaran’ tematik. “Besok tematik Yah,” katanya. Nalar saya mengartikan hal tersebut sebagai bentuk ketidakmampuannya membaca situasi. Berharap pada realita saja; apa yang akan datang tanpa dapat Ia persiapkan.

Pelajaran tematik inilah yang kerap dibincangkan orangtua sewaktu mengecek buku pelajaran. Bisa jadi tema ini merupakan curhat yang kesekian puluh kalinya Anda baca. Saya masih gagal paham untuk itu.

Saya memang belum pernah searching atau bertanya langsung kepada pihak berwenang terkait pola dan manfaat model tematik seperti itu. Yang jelas, dari pengalaman sehari – hari, anak saya yang tadinya kebingungan, sekarang mulai enjoy dengan membawa seabreg buku di tasnya. Menunggu spontanitas dari gurunya.

Penyebab gagal paham saya saja; saya bingung. Apa karena anak saya yang tak bisa menyampaikan keinginan sistem pendidikan Indonesia atau Ia tak mau menjelaskan tentang pentingnya spontanitas dalam menjalani kehidupan nyata yang kelak akan dihadapinya kala dewasa.

Biarlah itu jadi urusan saya. Tapi, kepengennya saya, minimal anak saya, anak kita, yang belum akil baligh itu memiliki visi yang jelas apa yang akan disongsongnya besok hari. Saya memang tidak memahami apa itu kurikulum lama, kurikulum baru, kurikulum 2013 atau apalah, pastinya saya bingung saja.

O..iya, hampir ketinggalan. Kawan orang rumah saya tinggal di salah satu sudut negeri Belanda. Dia bilang kalau dinegerinya, setara kelas 4 atau 5 SD di Indonesia, anak – anak mereka belum dibebani dengan pelajaran yang cukup berat seperti di Indonesia. Apalagi dengan PR yang berlembar – lembar.

Bisa saja Dia salah. Bisa jadi tingkat pelajaran yang ‘berat’ buat generasi kecil Indonesia itulah yang akan membuat Indonesia memiliki sumber daya manusia yang hebat nantinya (amin). Kendati menurutnya, bermain dan bersosialisasi disekolah juga merupakan proses pembelajaran. Rasa saya, berat dan ringan adalah subjektifitas. Belum pernah lihat materi pelajaran SD bocah - bocah Singapurakan?

Memanusiakan bocah. Mungkin itu saja yang menjadi perhatian saya, dengan tidak membuat doi, Ayah Bunda dan Kakek Neneknya juga terlibat bingung menjelaskan arah pendidikan negeri yang kita cintai ini. Moga kelak anak – anak kita jadi dermawan hebat, warga yang memberi kemudahan pada hidup orang lain. Amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun