[caption id="attachment_359896" align="alignnone" width="616" caption="sumber: fachrisuryari.wordpress.com"][/caption]
Salah satu laku utama dalam mengarungi anugerah kehidupan bagi manusia yang diturunkan untuk menghuni bumi ini salah satunya unuk mencari kebahagiaan diri. Terlepas dari berbagai bentuk kebahagian itu terserah definisi masing-masing mengartikannya.
Tak kurang juga, banyak manusia yang mendefinisikan bahagia akan pencapaian dalam hidup berupa kekayaan, jabatan dan kemasyhuran. Menjadikan mereka lupa kadang jadi lupa bahwa dunia itu luas begitupun bahagia punya makna yang tidak sesempit itu.
Menjadi contoh nyata ketika seorang pemuda dengan ketenaran, kekayaan dan tampang rupawan memilih untuk meninggalkan sebuah zona nyaman yang mungkin banyak diimpikan oleh anak muda seusianya. Pemuda itu bernama Zayn Malik. Mantan personel One Direction (1D) memilih hengkang dari boyband yang telah menngangkat derajat dan kepopulerannya seantero bumi dengan alasan yang cukup simpel dan terkesan sepele. Iaterlalu menjadi sorotan sehingga keinginan dirinya untuk bisa menjadi manusia normal dan memiiki waktu pribadi tak terpenuhi.
Dan demi kebahagian yang ingin dirasakannya tersebut seorang Zayn menukarnya berupa keluar dari boyband yang memesarkan namanya yang berarti pula bersiap menukar dengan bentuk materil yang pasti tidak sedikit jumlahnya. Sebuah pilihan hidup yang tak mudah dan patut diapresiasi atas tindakan berani dari seorang pemuda yang berumur 22 tahun.
Bayangkan saja berapa banyak pendapatan yang hilang ketika ia memilih keluar. Tahun lalu saja One Direction mampu meraup penghasilan 75 juta dolar AS atau Rp 971 miliar dan mampu menempatkan boy band ini dalam urutan 10 besar daftar Celebrity 100 (sumber :Tribunnews).
Belajar dari kejadian diatas tampak benar adanya sebuah filosofi jawa yang berbunyiwang sinawang, bahwakebahagian seseorang itu tak bisa dipukul rata definisinya. Belum tentu orang yang kita lihat punya segalanya itu dapat bahagia seutuhnya.
Namun berbanding terbalik dengan seorang Zayn, para koruptor kita sepertinya memilih jalan yang sebaliknya. Mereka memilih untuk menggadaikan anugerah berupa kebebasan sebagai seorang individu yang merdeka dan tidak terkekang dengan memilih korupsi agar mendapatkan segala sesuatu yang “wah” dengan cara yang salah.
Tentu hanya sementara saja kebahagian yang akan didapat kalau dengan cara seperti itu. Tampak dalam kehidupan mantan Ketua MK Akil Mochtar yang dengan jabatan dan fasilitas yang sudah tergolong wah nampak belum cukup dan masih saja merasa kurang. Memilih jalan mencapai kebahagian yang tampaknya semu dengan cara korupsi berakibat lebih menyedihkan untuk dirinya. Hancur lebur wibawanya sebagai hakim yang menjadi wakil Tuhan di dunia. Sampai menikmati sisa hidupnya dibalik jeruji besi di penjara atas vonis penjara yang dijatuhkan seumur hidup.
Zayn mungkin kini sedang menikmati masa-masa bahagia berupa kebebasan dari segala tekanan yang menghimpit dulu sehingga mampu menjadi manusia normal seutuhnya. Dan kini Akil Mochtar harus membayar kebahagian berupa kemewahan hidup yang dulu diidamkannya dengan terenggut haknya sebagai manusia yang bebas. Memanglah benar ada harga yang harus dibayar demi sebuah kebahagiaan terlepas dari cara dan bagaimana kita memilih untuk mendapatkannya. Kembali kepada individu masing-masing.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H