Oleh: M. Abd. Rahim
***
Biarlah waktu terus berjalan, dan akan kunikmati kesepian. Angin terus berhilir, menghembus kedamaian. Namun ketika berjumpa, hati ini mengalami kekosongan. Kau tak menyapa, apalagi senyum indah mewarna penuh kebahagiaan. Terlihat sosok yang tidak seperti dulu, kini hidup penuh ketidaknyamanan. Seolah bumi ini telah hancur menerpa diri, namun aku tetap menunggumu dengan penuh kesetiaan.
Setiap malam hatiku menjerit kesakitan. Bersama angin malam, menunggumu seperti dulu yang penuh keceriaan. Bila pagi sudah datang, aku ceria ingin menunggumu tuk bertemu tapi sia-sia, penuh kehampaan. "Apa yang kau pikirkan tentang diriku yang selalu menunggumu penuh kesabaran?" Aku tak tau, jalan yang telah kau harapkan. Semoga engkau tak membenciku, karena aku begitu mencintaimu dengan penuh ketulusan.
Mentari telah berganti, dan hujan sering mencium bumi. Aku tetap bersabar menunggumu di hati, walaupun bumi ini hancur berkeping-keping diluluh lantahkan api. "Apa salahku, berbicaralah agar aku bisa intropeksi diri!" Mungkin aku tersesat dijalan yang tidak diridhai, oleh karena itu berilah aku kekuatan dan jalan untuk melepas belenggu rindu ini. "Semoga engkau yang di sana seperti diri ini, yang selalu ingin dimengerti."
Daun-daun berguguran di bumi, seperti rasa hati ini cinta menjadi benci. Satu persatu butiran cinta telah sirna, menjadi batu-batu hitam penuh dendam dan menusuk jiwa ini. Rindu ini telah membelenggu, antara kata cinta, persahabatan dan permusuhan hati. Tanpa kasat mata, namun seolah benci mulai tumbuh dan bersarang dalam sanubari.Â
Kini, ku tak bebas mengepakkan sayap-sayap asa, yang ada hanya ketakutan dan rindu yang mengistana.Â
***
Surabaya, 22 Januari 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI