Mohon tunggu...
M. Syaprin Zahidi
M. Syaprin Zahidi Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Fokus tulisan saya pada aspek Diplomasi, Politik Luar Negeri, Pasifik Selatan dan Hukum Internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

UNCLOS Sebagai Instrumen Kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan

29 Maret 2024   10:14 Diperbarui: 29 Maret 2024   10:21 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konflik di laut China Selatan telah lama menjadi perhatian penting negara-negara di dunia karena klaim China terhadap laut China Selatan melalui konsepsi Nine Dash Line yaitu sembilan titik imaginer yang menjadi dasar bagi China dengan dasar historis, untuk mengklaim wilayah di laut China Selatan tersebut. Dalam konteks regional di Asia Tenggara saja tercatat ada empat negara yang bersengketa langsung dengan China karena klaim tersebut diantaranya adalah Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam. Sengketa dengan Vietnam terkait dengan sejumlah pulau dan terumbu karang di Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly. Dengan Filipina bahkan lebih pelik lagi, Filipina mengklaim China telah merebut Scarborough Shoal dan membawa masalah ini ke arbitrase permanen di Den Haag. Lain lagi sengketanya dengan Malaysia, Malaysia mengklaim sebagian Laut China Selatan yang mencakup setidaknya 12 fitur di rangkaian Kepulauan Spratly sebagai bagian dari wilayahnya telah dicaplok China. Terakhir dengan Brunei Darussalam yang mengklaim terumbu karang Louisa Reef yang berada di landas kontinennya juga dicaplok oleh China.

               Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebagaimana dasar politik luar negerinya yang bebas aktif, selalu menghindari konflik terbuka namun bukan berarti tidak siap untuk berkonfrontasi secara militer ketika memang diperlukan, mencoba untuk mencari jalan sebagai "peace broker" dalam masalah ini. Maka, menghadapi China yang memang dari awal sudah melakukan klaim sepihak yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum laut internasional dalam hal ini yaitu UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) satu-satunya cara adalah mengajak pemerintah China untuk berdialog melalui pendekatan UNCLOS karena mengingat China juga merupakan state party dalam convention ini.

               Upaya dialog tersebut sebenarnya sudah dilakukan oleh Indonesia melalui ASEAN Summit tahun 2023 lalu dimana salah satu agendanya adalah membahas mengenai "Code of Conduct regarding the South China Sea". Dalam dialog tersebut turut juga melibatkan Perdana Menteri China Li Qiang. Menarik kemudian melihat masa depan "Code of Conduct" yang sempat mandek cukup lama ini untuk kemudian apakah bisa efektif dalam mendorong China untuk mematuhi hukum laut internasional/UNCLOS.

               Cara-cara Indonesia ini yang sebenarnya mendorong soliditas ASEAN ketika berdialog dengan China juga tidak dapat dilepaskan dari kepentingan Indonesia atas kedaulatannya di laut China Selatan terutama terkait dengan Zona Ekonomi Ekslusif yang mencakup perairan Natuna sehingga cara paling bijak tentunya mengajak para pihak yang berkepentingan tersebut untuk merumuskan satu "code of conduct" yang efektif dalam mengatasi masalah ini.

               Hal tersebut penting karena sampai dengan saat ini suka atau tidak hukum internasional hanya akan berjalan jika ada "political will" dari para pihak yang terlibat karena sifatnya yang pasif. Menyadari hal tersebut maka penting bagi Indonesia kemudian untuk menggunakan hukum internasional dalam aspek ini adalah UNCLOS menjadi aspek penting dalam penyusunan "Code of Conduct" di laut China Selatan tersebut, mendorong semua negara anggota ASEAN dan China agar merasa UNCLOS tersebut pada akhirnya mengakomodir kepentingan mereka. Inilah yang menjadi rumus penting karena faktanya jika meminjam istilah dari pakar hukum internasional Indonesia Hikmahanto Juwana, Ia pernah mengungkapkan bahwa "International Law in its basic concept is intended to serve as legal framework for society of states... however the above description is international law as understood in class room. In reality, International Law is frequently used as a political instrument by states..." inilah kemudian poin pentingnya bahwa bagaimana kemudian UNCLOS sebagai dasar dari "Code of Conduct" di Laut China Selatan dapat digunakan oleh Indonesia untuk mencapai kepentingannya yaitu menjaga kedaulatan di laut China Selatan tanpa perlu menggunakan kekuatan militer.

               Penggunaan hukum internasional dalam pandangan penulis menjadi salah satu cara paling efektif saat ini untuk menghindari konflik terbuka yang bisa saja terjadi di laut china selatan, karena variabel yang paling penting dari ini semua adalah "political will" dari China yang bersedia untuk terikat pada aturan yang nantinya disepakati dalam "Code of Conduct" tersebut. Jika pada akhirnya China tetap "ngeyel" dengan pendiriannya melalui Nine Dash line, tidak menutup kemungkinan negara-negara besar lain seperti Amerika Serikat, Prancis dan Australia atau bahkan Inggris akan melihat peluang untuk terlibat dalam konflik ini.

               Sebagai negara yang menjunjung tinggi perdamaian dunia tentu kita berharap hal tersebut juga disadari oleh China. Jangan sampai Laut China Selatan ini malah menjadi "battle ground" yang tentunya hanya menghasilkan "Zero-sum game" bagi pihak yang terlibat.   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun