Keputusan pemerintah untuk tidak memberlakukan PPN 12 persen kepada sejumlah barang dan jasa tertentu memang menuai pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi, kebijakan ini dipandang sebagai langkah untuk melindungi daya beli masyarakat. Namun, di sisi lain, pelaku usaha kecil hingga besar kebingungan dengan kebijakan yang terkesan mendadak dan tidak terarah. Bahkan, publik bertanya-tanya: apakah pemerintah memahami dampak psikologis dan ekonomis dari pengumuman ini?
Kondisi Harga di Pasaran: Dampak yang Tidak Dapat Diabaikan
Meski beberapa barang dan jasa tidak terkena PPN, kondisi harga di pasaran justru menunjukkan kenaikan. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui dua faktor utama:
- Spekulasi Harga: Ketidakpastian mengenai penerapan kebijakan PPN membuat distributor dan pedagang menaikkan harga terlebih dahulu sebagai langkah antisipasi. Sebagai contoh, harga bahan pokok seperti minyak goreng dan beras di sejumlah daerah dilaporkan meningkat hingga 5-10 persen dalam seminggu terakhir.
- Efek Domino Inflasi: Kebijakan fiskal seperti PPN sering kali memengaruhi ekspektasi inflasi. Meski tidak semua barang dikenai PPN 12 persen, kenaikan pada sektor tertentu seperti jasa transportasi atau bahan bakar secara tidak langsung memicu kenaikan harga barang lainnya.
Sudut Pandang Pelaku Usaha: Revisi Harga yang Tidak Efisien
Bagi pelaku usaha, keputusan pemerintah ini menjadi momok baru dalam perencanaan bisnis. Banyak yang mengeluhkan harus merombak kembali daftar harga yang telah disiapkan sejak beberapa bulan lalu.
- UMKM Terpukul: Usaha kecil-menengah, yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, sangat terdampak. Tidak hanya mereka harus menyesuaikan harga jual, tetapi juga menghadapi tantangan dalam menjelaskan perubahan harga kepada konsumen.
- Kekacauan Administrasi: Banyak usaha berbasis jasa seperti katering atau event organizer yang bingung dengan status PPN pada layanan mereka. Haruskah mereka tetap mengikuti aturan lama, atau segera menyesuaikan dengan kebijakan baru?
Kebijakan fiskal semestinya dirumuskan dengan mempertimbangkan efek jangka pendek dan panjang, baik bagi konsumen maupun pelaku usaha. Namun, kebijakan PPN ini menunjukkan kurangnya koordinasi antar-lembaga pemerintah. Berikut beberapa poin kritis:
- Minimnya Sosialisasi: Publik hanya diberi waktu yang sangat singkat untuk memahami perubahan kebijakan. Akibatnya, banyak pelaku usaha yang kelabakan dalam merespons.
- Ketidakjelasan Sasaran: Tidak adanya transparansi mengenai kriteria barang dan jasa yang dikecualikan membuat kebijakan ini terkesan inkonsisten.
- Beban Ekonomi Rakyat: Ketika daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, kebijakan ini berpotensi memperlebar kesenjangan ekonomi.
Saran Kebijakan ke Depan
- Perbaikan Transparansi: Pemerintah harus mengedepankan komunikasi yang jelas dan transparan mengenai perubahan kebijakan perpajakan, termasuk publikasi daftar barang dan jasa yang dikecualikan dari PPN.
- Dukungan untuk UMKM: Memberikan insentif atau subsidi sementara bagi UMKM yang terdampak agar mereka mampu menyesuaikan operasional tanpa membebani konsumen.
- Stabilitas Harga: Pemerintah perlu bekerja sama dengan distributor besar dan asosiasi pedagang untuk mengontrol kenaikan harga yang tidak wajar di pasar.
Penerapan PPN 12 persen di tengah ketidakstabilan ekonomi menjadi cerminan kebijakan yang belum matang. Jika pemerintah tidak segera bertindak dengan langkah konkret, maka dampak negatif dari kebijakan ini akan semakin meluas. Dari pedagang kecil hingga konsumen, semua pihak kini menanggung beban dari keputusan yang terlalu terburu-buru.
Kepada pemerintah, haruskah kebijakan fiskal terus menjadi sumber keresahan rakyat? Bukankah seharusnya stabilitas harga dan kesejahteraan menjadi prioritas utama?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H