Mohon tunggu...
M WIldan
M WIldan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pamulang

Menjadi guru bagi kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Korona dan Khatam Al Quran, Sebuah Refleksi Kata-kata Religius

20 April 2020   15:44 Diperbarui: 20 April 2020   15:44 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh M. Wildan

Dosen Universitas Pamulang

Tulisan sederhana ini berkisah tentang pengalaman spiritual saya pribadi yang terjadi selama masa pandemi korona (Covid-19). Barangkali hal sama terjadi juga dengan spiritual Anda. Pemerintah mengumumkan pandemi Covid-19 pada awal Maret 2020 lalu. Sejalan dengan itu, sejumlah kebijakan pencegahan wabah Covid-19 mulai dari presiden hingga ketua RT agar dilaksanakan oleh semua warga bangsa. Bahkan institusi keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut juga mengeluarkan fatwa mengenai pencegahan Covid-19. 

Semua komponen anak bangsa berada pada kata sepakat membasmi wabah korona dari Indonesia. Saya melihatnya, kata-kata seperti penjarakan sosial (social distancing) dan diam di rumah (stay at home) sebagai kata-kata religius yang bermuatan filosofis bagi pembacanya.

Lebih jauh sejumlah kata-kata instruksi tentang pencegah persebaran Covid-19 menyeruak ke berbagai lini masa media sosial. Seperti penjarakan sosial (social distancing) penjarakan fisik (physical distancing), diam di rumah (stay at home), bekerja dari rumah (work from home) karantina wilayah, dan penjarakan sosial berskala besar (PSBB) menjadi kata-kata yang penting diungkapkan oleh masyarakat akhir-akhir ini. Bahkan kata-kata instruksi ini tak sekadar wacana, namun memerlukan implikasi pada pembatasan kehidupan bersosial dan berinteraksi. Namun, berdampak baik pada peningkatan ibadah seseorang.

Melalui kebijakan penjarakan sosial, diam di rumah, serta sejumlah instruksi lainnya telah mengubah 180 derajat pola hidup seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Banyak hal yang diubah oleh wabah Covid-19 ini, seperti kerumunan orang sudah mulai dibatasi dan bahkan berada pada tingkat larangan berkerumun lebih dari 20 orang. Hal ini pun harus memperhatikan jarak antar individu 1 meter. Bahkan bagi suatu daerah yang dikategorikan sebagai zona merah (red zone) tidak boleh menyelenggarakan salat berjamaah dan Jumat. 

Acara-acara yang dapat memperkokoh tali persaudaraan antar warga seperti arisan warga juga sudah ditunda pelaksanaannya secara betemu fisik. Lebih jauh lagi korona ini telah membidik warga rantau yang memiliki tradisi mudik menjelang hari raya Indul Fitri pun turut dihimbau untuk tidak mudik. Pasalnya dapat membawa penyebaran Covid-19 ke kampung halaman. 

Bahkan sejumlah kepala daerah telah bersepakat dalam kebijakan bahwa pemudik yang ngotot pulang kampung langsung berstatus sebagai orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pemantauan (PDP) sehingga tindak lanjutnya mereka yang memberanikan diri mudik ke kampung halaman wajib mengisolasi atau mengkarantina mandiri di rumah masing-masing selama 14 hari.  Sekali lagi sejumlah kebijakan yang menggunakan media fakta bahasa di atas berimplikasi pada perubahan radikal dalam kehidupan sehari-hari.

Setiap orang punya cara pandang dalam mencegah penyebaran Covid-19. Mulai dari mempersiapkan sejumlah kebutuhan pokok hingga menuntaskan ibadah yang belum sempat dilaksanakan pada waktu-waktu di saat korona belum menjadi pandemi global. Namun, tulisan ini sekali lagi hanya ingin menyorot pada aspek penuntasan ibadah yang masih menjadi pekerjaan rumah.

Setiap orang tentu memiliki punya kesibukan masing-masing. Implikasi dari kesibukan ini akan berdampak nyata pada tertundanya ibadah secara maksimal dan optimal. Oleh karenanya kehadiran wabah Covid-19 di tengah-tengah masyarakat telah menghentikan kegiatan di luar rumah. Dengan arti kata, kegiatan yang tadinya dilaksanakan di luar rumah telah berpindah ke dalam rumah. 

Untuk itu, dikenal kata-kata bekerja dari rumah (work from home). Kendati harus disadari bahwa bekerja dari rumah tidak semaksimal bekerja seperti di luar rumah. Pasalnya, memiliki sejumlah keterbatasan serta pemantauan yang kurang optimal dari atasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun