Poligami dalam masyarakat adalah salah satu bagian dari budaya masyarakat pra Islam. Seorang laki-laki dapat mengawini Perempuan dalam jumlah yang tidak terbatas. Bahkan banyaknya istri menjadi simbol kehebatan seorang laki-laki. Al-Quran dan Hadis membatasi kebiasaan berpoligami dengan memberikan isyarat dan syarat yang tidak ringan. Lagi pula dibatasi tidak boleh lebih dari 4 (empat) orang. Dari satu segi Al-Quran memberikan syarat kebolehan melakukan poligami bagi orang yang dapat memenuhi persyaratannya, akan tetapi pada ayat lain memustahilkan persyaratan itu dapat dicapai. Salah satu persoalan penting yang menjadi bahan diskusi oleh para pemikir Islam adalah persoalan poligami yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Poligami merupakan persoalan pelik yang dihadapi oleh kaum perempuan dan Islam. Bahkan, kalangan pengamat luar Islam (Islamisis) menganggap dibolehkannya melakukan Poligami ini membuktikan bahwa Islam sangat mengabaikan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia di dalam kehidupan suami-isteri.Â
Poligami, menurut mereka merupakan salah satu bentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum Perempuan. Pada dasarnya dalam Islam tidak ada syarat Poligami harus dengan izin istri, namun dalam hukum positif di cantumkan bahwa harus ada izin dari Pengadilan Agama dan persetujuan istri/istri-istri (Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974). Hal ini memunculkan persoalan baru terkait persetujuan istri yang notabennya tidak termasuk syarat untuk Poligami namun harus dilaksanakan di Indonesia ini. Pengaturan poligami di Indonesia bertujuan agar tidak terjadi praktek Poligami sekehendak hati di masyarakat. Karena praktek poligami yang terjadi sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, disinyalir dilaksanakan dengan sembarangan, sekehendak hati pelaku, sehingga menjadi keprihatinan sejumlah pihak. Mereka resah disebabkan praktek poligami yang terjadi dirasakan terlalu mudah sehingga disalahgunakan yang dapat mengamcam sendi-sendi kehidupan rumah tangga. Subtansi pengaturan Poligami di Indonesia adalah bahwa pelaksanaan Poligami harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama, karena Poligami tanpa izin pengadilan merupakan Poligami liar yang tidak memiliki kekuatan hukum. Untuk mendapatkan izin maka harus mengajukan permohonan dengan mencantumkan alasan-alasan kebolehan sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundangan, disertasi dengan melengkapi syarat-syarat tertentu yang nantinya menjadi bahan pertimbangan dalam persidangan di Pengadilan Agama setempat.Â
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengatur ketentuan pelaksanaan pemberian izin poligami dalam Pasal 43 disebutkan bahwa: "Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang". Sedangkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Komplikasi Hukum Islam memberikan landasan hukum pemberian izin poligami melalui Pasal 56 Ayat 3, pasal ini menyatakan bahwa:"Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum".
Keharusan menyertakan alasan dan atau syarat-syarat tertentu sebagaimana tercantum dalam Undang-undang, dimaksudkan agar pelaksanaan Poligami sulit dilakukan terutama bagi orang-orang yang sebenarnya tidak mempunyai alasan yang kuat dan tidak memenuhi syarat Poligami, akan tetapi bagi orang yang membutuhkan dan mempunyai alasan yang kuat dan dapat mencukupi persyaratanya maka Undang-undang tidak dapat menghalang-halanginya. Sebab mungkin saja justru Poligami memberi maslahat baginya. Dalam kontek inilah poligami dinilai sebagai alternatif.Â
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka subtansi pembatasan poligami dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan Pelaksanaan lainya, menyangkut dua hal yaitu pertama;
1. Berkaitan dengan pembatasan terhadap jumlah perempuan yang dipoligami yaitu maksimal empat.
2. Pembatasan terhadap pelaku Poligami, pelaku Poligami dibatasi hanya bagi orang yang betul-betul membutuhkan Poligami dan mempunyai alasan serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang. Tidak semua laki-laki serta-merta dapat melakukan Poligami, karena Poligami tidak boleh dilakukan semata-mata karena dorongan nafsu seksual, dorongan gagah-gagahan dan dorongan memamerkan harta kekayaan maupun memamerkan kekuasaan.
Bersimpangnya antara hukum islam dan hukum positif ini menjadikan dualisme hukum yang perlu dibahas, tapi fokusnya lebih kepada bagaimana pandangan Maqashid Al-Syari'ah terkait syarat-syarat Undang-undang Perkawinan yang membahas syarat Poligami di mana syaratnya tidak ada dalam agama Islam dan larangan atau ketidak bolehan dari pada si istri dalam memberikan izin untuk suaminya yang akan melakukan Poligami. Ini sangat menarik bilamana dikaitkan dengan Maqashid Al-Syari'ah yang mana pengertian Maqashid Al-Syariah sendiri ialah maksud dan tujuan dari disyariatkannya hukum. Dalam Maqashid Al-Syari'ah terdapat pembagian bersifat tujuan untuk melindungi kebaikan, seperti dalam Maqashid Dharuriyah (Tujuan Primer), dimana Maqashid atau tujuan dari kebutuhan manusia yang harus dipenuhi atau eksistensinya wajib terpenuhi ini masih dibagi menjadi 5 asas, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara nasab, dan memelihara harta. Ini terdapat kesinambungan dengan izin istri untuk suaminya yang akan melakukan poligami entah adanya undang-undang yang mengatur pembolehan Poligami dengan syarat sesuai Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan KHI telah mengatur poligami secara ketat dan tegas. Dengan adanya peraturan poligami dalam hukum positif di Indonesia diharapkan mampu memberikan solusi mengenai problem hukum seputar perkawinan yang terjadi di masyarakat Indonesia. Khususnya Poligami yang selama ini menjadi problem berkepanjangan dan kompleks. Namun, ternyata pada praktiknya masih ada keberatan atau bahkan penolakan terhadap aturan Poligami dalam hukum positif di Indonesia. Sebagian kalangan menganggap hukum positif di Indonesia pro terhadap praktik Poligami. Dengan demikian, Maqashid Al-Syari'ah yang bersifat universal dan purposefulness diharapkan mampu memberikan solusi atas aturan Poligami dalam hukum positif di Indonesia yang menjadi polemik masyarakat yang majemuk ini. Selanjutnya, bagaimanakah korelasi antara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975 dan KHI dengan Maqashid Al-Syari'ah terkait Poligami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H