Mohon tunggu...
M. Iip Wahyu Nurfallah
M. Iip Wahyu Nurfallah Mohon Tunggu... Penulis - ASN Pemerintah Kota Bima

Politik, Hukum dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dewan Perwakilan Daerah sebagai Produk Simbolik Reformasi

31 Desember 2023   11:09 Diperbarui: 13 Januari 2024   20:59 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pergerakan reformasi pada tahun 1998 seringkali dipandang sebagai sebuah proses dinamika dalam perkembangan negara Indonesia, hal tersebut dikarenakan tuntutan reformasi secara langsung merupakan tuntutan rakyat. Tuntutan-tuntutan tersebut tentu saja dapat dipandang sebagai konsekuensi dari pergerakan reformasi itu sendiri yang akan terus berkembang seiring dengan perubahan sosial politik yang terjadi di masyarakat. Selain itu reformasi juga dapat dijadikan sebagai media koreksi untuk mengembalikan arah pembangunan dan perjalanan bangsa Indonesia pada the right track. Salah satu upaya dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan reformasi tersebut adalah melalui pembaharuan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan konstitusi dan pedoman dasar penyelenggaraan negara

Pembaharuan UUD 1945 dengan empat kali amandemen selain untuk menyempurnakan konstitusi negara, juga memperkuat sendi-sendi berdirinya suatu negara. Berbagai pembaharuan diharapkan dapat menjadi The Higher Law atau The supreme of the land dalam sistem hukum ketatanegaraan Indonesia, salah satu sasaran pembaharuan UUD 1945 ini adalah menciptakan dan meningkatkan reformasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Untuk mewujudkan hal tersebut adalah membentuk utusan daerah dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dikenal dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perubahan tersebut tentu saja mengubah sistem ketatanegaraan Indonesia yang semula merupakan sistem perwakilan satu kamar (unikameral), dengan adanya tuntutan reformasi untuk lebih mewujudkan keinginan rakyat terhadap demokrasi akhirnya diubah bentuk menjadi sistem perwakilan dua kamar (bikameral) sama seperti di beberapa negara yaitu Prancis, Inggris dan Amerika.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, DPD memiliki peran penting yaitu sebagai yaitu dalam mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU), melakukan pengawasan terhadap pemerintahan daerah di daerah, dan menyuarakan aspirasi lokal di daerah pada tingkat pembahasan secara nasional yang terkait tentang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya yang ada di daerah dan pelaksanaan APBN, pajak serta agama. Pendapat, tanggapan dan pandangan DPD tersebut dijadikan pertimbangan secara tertulis kepada DPR untuk dijadikan hanya sebagai bahan pembahasan mengenai kebijakan-kebijakan nasional yang berhubungan dengan dalam pembahasan bersama pemerintah

Kehadiran DPD diharapkan dapat memberikan kontribusi politiknya dalam menyuarakan kepentingan daerah walaupun pada dasarnya peran yang dimiliki DPD dalam parlemen tidaklah sesuai dengan apa yang dicita-citakan dan diinginkan oleh daerah. Terlalu kecil dan terbatasnya peran yang diberikan oleh konstitusi menjadi permasalahan besar yang akan berdampak terhadap eksistensi dari DPD sebagai akses lokal terhadap kebijakan nasional. Arend Lijphart melakukan studi yang mempelajari berbagai jenis dan bentuk dari sistem bikameral yang dianut oleh beberapa negara, dan mengklasifikasikannya berdasarkan pada peran, komposisi, dan kedudukannya (Lijphart :1984).

Berdasarkan perannya sistem bikameral di bagi menjadi strong bicameral dan soft bicameral. Pada negara yang menganut sistem strong bicameral maka peran kamar kedua cukup kuat dan maksimal, terutama dalam proses legislasi sehingga mempunyai hak untuk mengusulkan, memveto atau menolak suatu undang-undang, mengesahkan perjanjian bahkan mengajukan impeachment pejabat negara yang melakukan penyelewengan. Negara yang menganut sistem strong bicameral ini adalah Amerika Serikat, hal itu dapat dilihat dalam peran senat selaku kamar kedua (the second chamber) yang diperbolehkan untuk tidak menyetujui rancangan apapun termasuk undang-undang dan dapat mengajukan amandemen tambahan yang bisa mengubah sifat suatu rancangan peraturan perundang-undangan serta mempunyai wewenang Tunggal untuk mengajukan serta mengadili kasus impeachment terhadap pejabat negara yang melakukan penyelewengan. Sedangkan di negara yang menganut sistem soft bicameral, posisi dan peran salah satu kamar cenderung lemah karena tidak memiliki hak suara untuk turut mengambil keputusan akhir pada proses pengambilan keputusan terhadap suatu undang-undang dan keberlangsungan suatu kebijakan. Contoh negara yang menganut sistem ini adalah Kamboja Dimana senat selaku kamar kedua di Kamboja tidak mempunyai hak usul tetapi hanya diberikan hak untuk mempertimbangkan dan memberikan rekomendasi saja kepada National Assembly selaku kamar pertama di parlemen.

Akan tetapi seiring dengan perkembangan sosial politik dan kehidupan masyarakat yang dinamis, telah lahir bentuk baru yang berhubungan dengan peran kamar kedua. Bentuk baru tersebut menyatakan bahwa pada suatu negara bentuk bikameralnya tidak terlalu kuat akan tetapi tidak juga dikatakan sebagai bikameral yang lemah, sistem bikameral seperti ini dinamakan medium-strength bicameralism dimana kedua kamar memiliki kekuasaan legislatif yang berbeda akan tetapi terhadap proses pengajuan peraturan perundang-undangan sehingga kamar kedua hanya diberikan hak untuk memberikan pertimbangan terhadap rancangan peraturan perundang-undangan akan tetapi dalam pelaksanaannya kamar kedua memiliki hak veto terhadap peraturan perundang-undangan tersebut. Contoh penerapan sistem medium-strength bicameralism dapat dilihat dalam berbagai peran dan fungsi kamar kedua di berbagai negara seperti senat di prancis, house of commons di Inggris, House of councilor (Sangi-In) di Jepang dan Tweede Kamer di Belanda.

Berdasarkan pada komposisinya maka bentuk sistem bikameral di berbagai negara dibedakan menjadi congruent dan Incongruent. Sistem bikameral yang congruent adalah sistem dimana komposisi masing-masing kamar dalam parlemen adalah sama. Negara yang menganut sistem ini adalah Jepang dimana anggota Shugi-In selaku kamar pertama dan Sangi-In yang merupakan kamar kedua memiliki komposisi yang sama yaitu perwakilan rakyat dengan dasar perwakilan proporsional. Kemudahan sistem bikameral yang bersifat incongruent adalah sistem dimana komposisi keanggotaan kamar kedua berbeda dengan keanggotaan kamar pertama. Negara yang menganut sistem ini adalah Australia dimana house of representative yang merupakan kamar pertama terdiri dari dari para wakil rakyat yang dipilih dalam bentuk partai politik, sedangkan senat yang merupakan kamar kedua adalah perwakilan dari tiap daerah negara bagian.

Selanjutnya sistem bikameral di berbagai negara juga dapat diklasifikasikan berdasarkan kedudukannya menjadi sistem bikameral yang symmetrical dan asymmetrical. Sistem yang berbentuk symmetrical merupakan sistem bikameral yang dalam konstitusi memiliki kekuasaan yang sama pada masing-masing kamar atau sama secara moderat. Contoh negara yang menganut sistem ini adalah Belanda dimana Eerste Kamer selaku kamar pertama dan Tweede Kamer yang merupakan kamar kedua memiliki kekuasaan yang sama dalam legislasi peraturan perundang-undangan. Sedangkan sistem bikameral yang berbentuk asymmetrical merupakan sistem bikameral yang memiliki kekuasaan yang tidak sama antara kamar pertama dan kedua yang telah diatur oleh konstitusi. Contoh negara yang memiliki bentuk bikameral asymmetrical  adalah prancis dimana senat selaku kamar kedua memiliki kekuasaan yang berbeda dengan National Assembly selaku kamar pertama dalam proses legislasi pembentukan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketiga kategori dalam mengklasifikasikan bentuk sistem bikameral seperti sebelumnya, maka bentuk sistem bikameral di Indonesia sendiri dapat dikategorikan sebagai sistem soft bicameral dengan bentuk assymetrical dan incongruent. Hal ini dikarenakan di Indonesia sendiri DPD tidak berperan sebagai second opinion karena hanya dapat memberikan pertimbangan secara tertulis mengenai pendapat, tanggapan, dan pandangan terhadap suatu rancangan dan produk perundang-undangan tertentu dan tidak memiliki hak veto yang dapat mempengaruhi suatu kebijakan nasional yang dibuat oleh DPR dan pemerintah. Bentuk sistem bikameral di Indonesia juga dapat dikatakan asymmetrical karena kewenangan yang diberikan UUD 1945 sebagai konstitusi kepada DPD yang merupakan kamar kedua dalam parlemen sangat minim dan terbatas berbeda dengan kewenangan yang diberikan kepada DPR selaku kamar pertama. Sedangkan dikatakan sebagai sebuah bentuk sistem bikameral yang incongruent karena komposisi keanggotaan DPR dan DPD berbeda, DPR merupakan perwakilan rakyat yang berasal dari partai politik tertentu dan memiliki jumlah yang berbeda-beda di setiap daerah sedangkan DPD merupakan wakil rakyat yang berasal dari kalangan non partisan dan mewakili daerahnya masing-masing sehingga sering disebut sebagai wakil daerah dan berjumlah empat orang dari setiap daerah provinsi yang ada di Indonesia.

Dengan kedudukan dan peran yang lemah dalam parlemen, dan terbatasnya peran yang diberikan oleh konstitusi, harapan daerah dari terbentuknya sebuah badan perwakilan daerah yang diwujudkan dengan terbentuknya DPD yang mampu memberikan kontribusi politik sebagai akses lokal terhadap kebijakan nasional pada masa reformasi tersebut sangat berbanding terbalik dengan isi konstitusi yang mengaturnya. Sehingga fenomena ini menyebabkan bahwa pembentukan DPD sendiri tidak lebih hanyalah sebagai sebuah bentuk simbolik yang lahir guna memenuhi tuntutan reformasi semata, khususnya reformasi hubungan antara pusat dan daerah menuju arah yang lebih baik. Sampai saat ini DPD sendiri masih terlihat belum memberikan kontribusi yang cukup signifikan sebagai wadah penyalur aspirasi lokal dalam memperjuangkan hak-hak dan kewajiban daerah. Permasalahan tersebut diakibatkan karena dalam konstitusi sendiri, DPD tidak memiliki peran dan kewenangan yang cukup signifikan sehingga tidak dapat memberikan kontribusi konkret yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Harapan kedepannya peran dan kewenangan DPD harus ditinjau Kembali dalam amandemen konstitusi yang akan datang. DPD harus diberikan peran yang lebih maksimal, terutama dalam proses legislasi, seperti diberikan hak untuk mengusulkan RUU dan memveto atau menolak suatu undang-undang serta hak-hak lain yang berfungsi melengkapi peran parlemen Indonesia. Sehingga DPD tidak hanya dijadikan sebuah Lembaga yang bersifat simbolik dan dapat memenuhi tuntutan reformasi guna menampung aspirasi lokal dan sebagai akses lokal terhadap kebijakan nasional dalam rangka meningkatkan demokrasi di Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun