“Nyonya…. Darimana saja? Hamba khawatir sekali. Apakah terjadi sesuatu pada Nyonya?” tanya Hamra penuh kecemasan sambil memegangi tangan majikannya itu.
“Aku baik – baik saja Hamra. Kau tenanglah. Tidak terjadi apapun kepadaku.” jawab Aairah tersenyum sambil memegangi tangan pelayannya itu.
“Syukurlah kalau begitu Nyonya. Sudah hampir satu jam kami menunggumu disini. Hampir saja aku menyuruh Kishwar untuk mencarimu.”
“Terimakasih Hamra, kau sangat perhatian sekali kepadaku. Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan ini sebelum hari gelap.” ucap Aairah.
“Iya Nyonya. Mari.”
Rombongan Aairah kembali melanjutkan perjalanan mereka. Setelah semuanya siap, kereta unta mereka bergerak menuju Hegra. Tempat tinggal Aairah.
Sepanjang perjalanan, Aairah hanya bisa melamun didalam keretanya. Memikirkan kejadian yang baru saja ia alami. Sebuah kejadian yang tidak masuk akal saat ia kembali lagi ke sumber air Mehnaz untuk yang kedua kali. Sebuah kejadian yang membuat pikirannya resah.
“Ternyata benar ucapan Mehnaz.” gumam Aairah saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa sumber air Mehnaz kini telah berubah menjadi padang gersang.
Di depannya kini hanya nampak sebuah padang gersang yang kering tak berair. Panas dan banyak debu beterbangan tertiup angin.
Padahal beberapa jam yang lalu padang itu penuh dengan air dan nampak hijau menyegarkan mata.
Ucapan Mehnaz adalah sebuah kebenaran. Sebuah kebenaran yang sulit sekali diterima oleh akal Aairah. Kebenaran bahwa anak yang akan ia lahirkan adalah seorang pemimpin dan penyelamat Bangsa Nabataea.