Om Swastiastu
Om Awighnamastu Namo Siddham
O Hrang HringSah Parama Siwaditya ya Namah
“Benarkah itu biyung ?” tanya Anak Agung Raka Sidan setelah sembahyang di Sanggah pagi yang hangat dan cerah itu. Namun kehangatan mentari seakan lenyap seketika. Ekspresi wajahnya mendadak berubah. Matanya melotot. Seakan – akan ia tak percaya atas apa yang baru saja didengarnya.
“Benar bli, bulan depan kita harus pergi meninggalkan rumah ini. Tepatnya setelah upacara Odalan Pura Dalem.
“Tapi, mengapa iwa setega itu biyung ? Belum genap sebulan aji meninggal. Jenazah aji belum juga diaben. Baru saja tiga minggu lalu aji disemayamkan di Pura Dalem. Jasadnya pun masih utuh. Tapi mengapa iwa mengusir kita secepat itu ? mengapa iwa tidak menghormati kita yang sedang berkabung biyung ?”
“Sudahlah bli, kita sudah tidak punya hak atas rumah ini lagi “ jawab Ni Kadek Suasti sambil membelai rambut anak lelakinya untuk meredam emosinya yang kian memuncak.
Mata Anak Agung Raka Sidan membelalak lebar. Seperti ada bara api yang besar membara di kedua bola matanya.
Air mata ibunya meleleh dikedua pipinya yang mulai keriput. Teringat ucapan I Wayan Durma seminggu yang lalu…
“Sebaiknya kau segera membereskan barang – barangmu. Segeralah kau dan anakmu angkat kaki dari rumah orangtuaku ini. Karena mulai sekarang rumah ini sudah menjadi hak milikku” ucap I Wayan Durma kepada Ni Kadek Suasti pagi itu. Saat Anak Agung Raka Sidan tidak berada dirumah karena bekerja. Ia sengaja datang pagi – pagi agar tidak bertemu dengan anak lelaki kakaknya itu. Karena ia paham betul sifat Anak Agung Raka Sidan jika sedang marah. Seperti Rangda yang sedang murka.
***