[caption caption="Punden Desa (arsip.tembi.net)"][/caption]
“Eh dengar – dengar akan ada pembongkaran makam desa ya?”
“Kelihatannya sih begitu”
“Sungguh terlalu, kelewatan, apa mereka tidak takut kuwalat pada sesepuh desa ini?”
“Saya setuju dengan ibu, mereka egois, tidak memikirkan balas budi para sesepuh yang dulu membabat alas desa ini!”
Begitulah obrolan di sore itu. Begitu panas, memuncak penuh luapan emosi. Sepanas matahari yang bersinar di sore yang sedang musim kemarau ini. Semenjak ada kabar pembongkaran makam desa, masyarakat seakan – akan terusik dan tersentak kaget. Betapa tidak, makam yang selama ini dijadikan sebagai tempat yang “dikeramatkan” oleh masyarakat sekitar – bahkan luar desa – karena terdapatnya punden yang berlokasi di dalam makam. Punden yang “tertanam” di bawah akar pohon beringin berusia ratusan tahun. Yang konon oleh masyarakat sekitar dianggap sebagai punden “bertuah”. Ya… bertuah. Sebab bisa mewujudkan segala keinginan para peziarah. Mengabulkan harapan dalam dada, menjadikan khayalan keluar dari angan – angan. Tak sedikit peziarah yang menyumbang harta benda. Seperti memberikan “komisi” kepada juru kunci makam sebagai balas jasa atas kemujaraban do’a – do’a yang dirapalkannya.
“Mbah, ini… mohon diterima” ucap Hartono kepada juru kunci seraya menyelipkan amplop coklat tebal dibawah sesajen di dekat punden.
“Apa ini Nak?”
“Sedikit kok mbah, ini ucapan terimakasih saya karena berkat mbah, saya sekarang menjadi kepala dusun di desa saya” ucap Hartono dengan mata berbinar hati berbunga – bunga.
Begitulah sedikit cerita dibalik bilik punden yang berukuran 3 x 3 meter itu. Cerita tentang anak manusia yang menginginkan harapannya terkabul dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh agama.