Ya. Aku mati karena sebab musabab yang tak pernah mereka mengerti. Yang mereka tahu hanyalah tubuhku tergeletak lemas tak bernyawa pada sore menjelang senja. Lalu mereka menangis sejadi – jadinya meratapi kematianku. Meratapi perpisahan jiwaku dengan ragaku.
Saat itu kurasakan tubuhku ringan sekali. Melesap ke udara. Tak lama setelahnya, kusaksikan jasadku telah terbujur kaku dibawahku. Dengan tanganku menggenggam gelas berisi minuman yang disuguhkan oleh Numba. Minuman yang tumpah berserakan diatas lantai kayu. Mulutku mengeluarkan busa. Bak buih di tepian Tiwu Nuwa Muri. Tempatku saat ini.
Aku sangat terkejut. Mengapa ini semua terjadi padaku secepat ini. Ooohhh…Odung. Andai kau tahu siapa yang membunuhku, pasti kau akan kecewa dan menangis. Bahkan darahpun sanggup memberontak keluar dari kedua kelopak matamu yang indah itu. memberontak atas ketidakberdayaanku. Ketidakadilan yang menimpa diriku.
***
Sore itu aku datang kerumahmu. Untuk bertemu denganmu. Membicarakan perihal hubungan kita. Pertunangan kita lebih tepatnya. Namun tak kudapati dirimu disana. Ternyata kau sedang ada keperluan di desa sebelah. Desa di lereng bukit. Sehingga aku ditemui oleh Numba - ayahmu. Kami berbincang – bincang. Hanya berdua. Tak ada orang lain. Aku utarakan maksud kedatanganku. Menyampaikan keinginanku. Tapi sayang, ayahmu melamur asam di muka. Menyiratkan rasa tak suka kepadaku. Entah setan apa yang merasuki ayahmu. Sehingga muncul pikiran jahat untuk melenyapkanku. Hingga akhirnya terpisahlah jiwaku dari ragaku.
Setelah kematianku, Ayahmu menyebar fitnah bahwa aku berusaha meracuninya. Dengan tuduhan bahwa permintaanku ditolaknya. Dan sebab karena ayahmu menolak perjodohan kita. Ayahmu menyebar kabar bahwa aku mati karena tak berhasil meracuninya. Sehingga aku putus asa dan meminum air itu.
Aku tahu kalau Numba meracuniku karena tak setuju aku menikah denganmu Odung. Karena kasta kita berbeda. Dan aku memahami itu. Namun apakah cinta mengenal kasta? Tidak. Cinta lahir dari hati. Merasuk ke jiwa. Mewujud dalam seikat rindu. Oohh… Mungkin ini memang salahku. Mengapa cinta ini aku biarkan bertumbuh di dadaku.
Kita berdua. Aku dan kamu. Sama – sama dilahirkan di kampung Wae Rebo. Sebuah kampung yang sangat indah. Diselimuti oleh kabut tipis yang berarak indah di udara. Sebuah kampung yang jauh dari hiruk pikuk manusia. Karena kampung kita adalah kampung diatas awan.
Di kampung kita hanyalah dihuni oleh tujuh Mbaru Niang. Aku dan keluargaku adalah petani. Kami tinggal di Mbaru Niang yang paling kecil. Mbaru Niang yang berbentuk kerucut beratap daun lontar yang menjulur dari atas atap sampai kebawah hingga menyentuh tanah. Dengan garis tengah lingkaran empat meter dan tinggi sepuluh meter. Dibuat dari bambu. Dengan rotan sebagai pengikat. Tanpa paku. Didalamnya hanya terdapat tiga buah ruangan yakni lutur, lempa rae dan hekang kode. Keluarga kami biasa berkumpul di ruangan paling bawah. Yaitu lutur. Sedangkan untuk melepas penat, kami terpaksa merebahkan tubuh lelah kami di lempa rae, yakni ruangan yang harusnya digunakan untuk menyimpan cadangan makanan keluarga. Namun bagi kami terpaksa kami gunakan untuk tempat istirahat yang dicukup – cukupkan. Setiap pagi aku selalu menaruh sesaji di ruang paling atas di Mbaru Niang. Yakni di ruang Hekang Kode. Sebuah ruang kecil untuk menaruh sesaji bagi arwah para leluhurku.
Pun keluargamu demikian. Selalu menyiapkan sesaji untuk arwah nenek moyangmu. Aku tahu itu karena setiap pagi kita selalu bertemu di pasar. Membeli keperluan sesaji bersama – sama. Aku ingat, saat itu kita masih kecil. Belum mengerti apa itu cinta. Yang aku mengerti hanyalah satu hal. Bahwa aku merasa nyaman dan senang bila berada disampingmu.
Suatu ketika kamu mengajakku berkunjung ke Mbaru Niang tempat tinggalmu. Kau tinggal di Mbaru Niang yang ukurannya lebih besar. Berbentuk kerucut dengan garis tengah lingkaran tujuh meter dan tinggi dua puluh meter. Terdiri atas lima lantai. Lutur di tingkat bawah / dasar, kemudian diatasnya Lobo lalu Lentar, Lempa Rae dan Hekang Kode di lantai paling atas. Maklumlah keluargamu adalah keluarga bangsawan yang terpandang di kampung kita.