Suasana di pelabuhan sangat ramai.
Simkath berdiri dengan tenang di tepian kapal. Angin laut berhembus menerpa wajahnya. Lalu ia berjalan menuju tangga kapal. Seorang petugas memintanya untuk menunjukkan gulungan daun Papirus yang ia bawa. Setelah petugas itu memeriksanya, Simkath bergegas pergi. Di dermaga nampak beberapa orang menawarkan jasa membawakan barang -- barang para penumpang. Namun Simkath mengacuhkannya. Ia merasa tidak memerlukan bantuan mereka. Ia berjalan menuju gerbang masuk Kota Paphos yang berada tidak jauh dari dermaga. Dengan membawa dua bungkusan kain hitam berisi barang -- barangnya, ia melangkahkan kakinya dengan tenang.
"Berkatilah aku Dewa." gumam Simkath sambil mencium liontin batu rubi hijau yang
menggantung di lehernya. Lalu ia selipkan liontin itu kedalam bajunya. Rambutnya yang panjang sebahu ia biarkan tergerai. Ia mengenakan sorban hitam untuk melindungi kepalanya yang botak dari panas.
Beberapa orang penjaga gerbang kota nampak berjaga - jaga. Mereka memeriksa identitas dan keperluan para pendatang yang melewati pintu gerbang kota. Termasuk Simkath.
"Maaf Tuan, bisakah kami memeriksa barang bawaan Tuan?".
"Silakan, aku tidak keberatan." jawab Simkath dengan nada datar sambil menyerahkan dua bungkusan yang ia bawa. Lalu kedua penjaga memeriksa dua bungkusan kain hitam itu.
Matahari bersinar cukup terik. Udara di sekitar pantai Pelabuhan Kota Paphos cukup panas.
Simkath sedang sibuk mengamati orang -- orang di sekitarnya. Sebuah usaha pengenalan awal di tempat yang baru ia kunjungi untuk pertama kalinya. Berkali -- kali Simkath mengusap keringat yang menetes di kening dan lehernya. Terkadang ia memicingkan mata sekedar untuk memperjelas apa yang dilihatnya.
Ia melakukan itu karena mata kirinya mengalami sedikit cacat saat ia masih kecil. Sebuah bara api dari tumpukan kayu bakar terbang ke udara dan melukai mata kirinya saat ia bermain -- main dengan tungku untuk memasak.
"Tuan... Tuaaan..." ucap seorang penjaga memecah konsentrasi Simkath.