Tapi dari segi cerita, film ini lebih mirip dengan The Invisible Guest yang sama-sama mengandalkan dialog sebagai penggerak cerita dan sama-sama menggunakan "orang asing" yang tiba-tiba muncul.
Hanya saja fokus film ini kepada target yang harusnya mendapat tekanan demi tekanan psikologis, yaitu Pak Budiman, saya rasa kurang jika dibandingkan dengan ujian mental yang menimpa Adrian di The Invisible Guest. Sehingga twist di akhir terasa kurang mengalir dan terkesan mendadak.Â
Barangkali penyebabnya adalah fokus Tika tak hanya kepada Pak Budiman saja, melainkan juga kepada anak-anaknya Pak Budiman, utamanya kepada Andre---yang menurut saya tak ada kaitannya dengan twist di akhir.
Lalu apa yang membedakan film ini dengan film Ernest sebelumnya? Tentunya bukan sekadar berganti genre, dari drama komedi ke thriller.Â
Melainkan juga dari formula yang diterapkan. Jika sebelumnya Ernest lebih suka memulai filmnya dengan menceritakan latar belakang tokoh-tokohnya, kali ini dia langsung menyodorkan konflik.Â
Jika diibaratkan film detektif, penonton langsung disodorkan dengan adegan ditemukannya mayat misterius. Tak ada pengenalan karakter, tak ada insiden pemicu yang membuat tokoh utama keluar dari zona nyamannya. Yang ada adalah penyelesaian konflik, dan digalinya satu demi satu misteri.
Akan tetapi jika melihat film ini secara keseluruhan, bisa dibilang film ini adalah bagian terkecil dari semesta film yang akan dibuat oleh Ernest selanjutnya---entah trilogi atau tetralogi begitulah.
 Film "Teka Teki Tika" ini layaknya sequence satu, di mana penonton diperkenalkan pada Tika. Dari mana asalnya, apa pekerjaannya, juga apa visi di dalam batok kepalanya. Lebih mirip Arini di semesta "Love for Sale", yang identitasnya diungkap sedikit demi sedikit.
Ernest mengaku film ini terinspirasi dari kabar korupsi dana bansos tempo hari. Dan film ini memang mengangkat isu korupsi, bahkan di menjelang ujung film penonton diberikan wejangan secara tersurat: "Bisnis yang bener, jangan nyogok pejabat." Asyik.
Meski bergenre thriller, Ernest masih menyelipkan komedi yang jadi ciri khasnya selama ini. Kabar baiknya, joke-joke tersebut diletakkan di tempat dan waktu yang tepat, demi tak merusak atmosfer ketegangan di dalamnya.
Sebagai sebuah film percobaan Ernest untuk keluar dari zona nyamannya, film ini cukup menjanjikan. Dan ending di film ini mengisyaratkan adanya sekuel. Tentu layak dinantikan.