Mohon tunggu...
Mahmoud Dewantara
Mahmoud Dewantara Mohon Tunggu... Novelis - Pelajar di Ejaanmasa

MP

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Permasalahan Pembiayaan Pendidikan Nasional Tak Pernah Usai

17 September 2023   09:21 Diperbarui: 17 September 2023   09:36 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dari sekian sumber daya pendidikan yang dianggap penting adalah uang. Uang ibarat kuda dan pendidikan sebagai gerobak. Gerobak tidak akan berjalan tanpa ditarik kuda. Pendidikan tidak akan berjalan tanpa adanya uang dan biaya. Merupakan sumber daya yang langka dan terbatas. Maka dari itu uang perlu dikelola dengan efektif  dan efesien agar membantu pencapaian tujuan pendidikan. 

Organisasi pendidikan dikategorikan sebagai organisasi publik yang nirlaba (non profit), oleh karena itu manajemen keuangannya memiliki keunikan sesuai dengan misi dan karakteristik pendidikan.  

Namun permasalahan yang terjadi di lembaga pendidikan terkait dengan manajemen keuangan pendidikan diantaranya adalah sumber dana yang terbatas, pembiayaan program yang serampangan, tidak mendukung visi, misi dan kebijakan sebagaimana tertulis di dalam rencana strategis lembaga pendidikan. 

Persoalannya, lembaga pendidikan (sekolah) pada umumnya tidak langsung menanggung seluruh biaya, karena gaji guru dan sarana  pendidikan dominan bersumber dari pemerintah bagi sekolah negeri atau yayasan bagi sekolah swasta. Uang pemerintah sebagai masyarakat yang dipungut melalui pembayaran pajak. Oleh karena itu, pendidikan dapat dipandang sebagai aktifitas yang bersifat layanan umum.  

Pendidikan yang bermutu merupakan suatu investasi yang mahal. Masyarakat industri modern yang menyadari hal ini akan menanamkan investasi yang besar untuk industri pendidikan. Kesadaran masyarakat untuk menanggung biaya pendidikan (cost sharing) pada hakikatnya akan memberi sesuatu kekuatan pada masyarakat (empowering the society) untuk bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pendidikan. 

Namun hal ini berlainan sekali dengan keadaan negara berkembang dimana ada keengganan masyarakat untuk membagi beban pendidikan, yang tampak dan relatif rendahnya social rate of retrun (kebutuhan masyarakat secara umum) investasi dalam bidang pendidikan. Lagi dan lagi permasalahan pembiayaan pendidikan nasional negara tercinta ini tak pernah usai. Salah satu fenomena pendidikan yang menyedot biaya begitu besar dari masyarakat ini juga sempat terlihat saat pendaftaran siswa baru. 

Memang harus diakui pemerintah tidak lepas tangan. Pemerintah telah menggulirkan program bantuan operasional sekolah (BOS) untuk BOS tetaplah terbatas. Dengan masih terbatasnya dana BOS itu mungkin ada yang berdalih jika pemerintah sekedar membantu dan meringankan beban masyrakat miskin. Jika benar demikian maka pemerintah bisa dikatakan tidak peka. Bukti konkret adalah angka drop out (DO) dan Lulus Tidak Melanjutkan (LTM) anak usia sekolah antara 8 - 17 tahun 2023 Kemdikbud ristek tergambarnya tinggi di Kab. Kotim.

Dilihat dari konstitusi , UUD 1945 PASAL 31 (2) ditegaskan  mengenai kewajiban pemerintah membiayai pendidikan dasar setiap warga negara. Lalu muncul pertanyaan, atas dasar apa pula pihak sekolah sering kali menarik pungutan-pungutan kepada siswa dan orang tua siswa? Ketika disinggung tentang anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN/APBD sebagai mana amanat UUD 1945 dan UU. No. 20/2003 tentang Sisdiknas, pemerintah selalu mengatakan tidak memiliki anggaran yang cukup. Ada sektor kebutuhan non pendidikan yang semestinya juga harus diperhatikan disamping terus mengupayakan secara bertahap anggaran pendidikan. Melihat kenyataan pengelolaan anggaran negara ini, tampaknya terjadi ketidak efektifian disamping mentalitas korupsi yang masih akut. Pemerintah tidak bisa tidak memang perlu memikirkan lebih serius lagi pembiayaan pendidikan di Indonesia. 

Negara sebenarnya bisa berperan efektif mengurangi mahalnya biaya pendidikan jika kebijakan politik pendidikan yang berlaku memiliki semangat melindungi rakyat miskin yang sekarat dijalanan tanpa pendidikan. Jika semangat "mengeruk kekayaan" melupakan semuanya kecualu "diri sendiri" masih ada seperti sekarang, sulit rasanya menyaksikan rakyat miskin keluar dari kebodohan dan keterpurukan. Maka yang dituai adalah krisis solidaritas, mandeknya demokrasi dan terpuruknya keadilan sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun