Tapi di tengah sorak-sorai itu, ada satu suara yang membuatku terpaku. Suara Mila, sahabatku. "Bagus sekali, Dara! Aku bangga padamu!" katanya dengan antusias. Mila adalah sahabat yang selalu ada untukku. Dia sering menggambarkan hal-hal yang tidak bisa kulihat. Bahkan, dia pernah mengajarkanku cara merasakan keindahan hujan dengan mendengarkan ritmenya.
Saat aku turun dari panggung, Mila memelukku erat. "Kamu luar biasa, Dara. Semua orang kagum padamu," katanya.
Aku tersenyum, meski air mata menetes di pipiku. "Tapi, Mila, kadang aku merasa sedih. Aku ingin melihat seperti kamu. Aku ingin tahu seperti apa warna biru yang sering kamu ceritakan. Aku ingin tahu seperti apa dunia ini sebenarnya."
Mila terdiam sejenak, lalu menggenggam tanganku. "Dara, kamu tahu? Dunia memang indah. Tapi, kamu punya sesuatu yang lebih indah daripada sekadar melihat. Kamu bisa merasakan dunia dengan cara yang tidak bisa dilakukan orang lain. Musikmu adalah bukti bahwa kamu bisa melihat dunia dengan hatimu."
Kata-katanya menusuk relung hatiku. Mungkin benar, aku tidak bisa melihat dunia dengan mata, tetapi aku bisa merasakan keindahannya melalui sentuhan, suara, dan cinta dari orang-orang di sekitarku.
Malam itu, saat Ibu membelai rambutku seperti biasa, aku berbisik, "Bu, maafkan aku yang tak bisa melihat dunia. Tapi, aku berjanji, aku akan terus mencoba membuat dunia menjadi lebih indah dengan caraku sendiri."
Ibu mengecup keningku. "Dunia ini sudah indah karena kamu ada di dalamnya, Nak."
Aku tersenyum dalam gelap. Untuk pertama kalinya, aku tidak lagi merasa kehilangan. Aku tahu, meski aku tak bisa melihat dunia, aku bisa merasakannya. Dan itu cukup bagiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H