Mohon tunggu...
M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Membaca dan menulis apa saja yang terlintas di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Book

"Tidak Ada Pesan Moral untuk Cerpen Ku Hari ini." Selintas Telaah terhadap Kecenderungan Karya-Karya Prosa Kontemporer

15 April 2024   19:17 Diperbarui: 16 April 2024   09:54 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.istockphoto.com/photos/surreal-art

Karya prosa di Indonesia sejak dua dekade silam hingga kini cenderung tak menghiraukan lagi dengan apa yang dinamakan narasi-narasi besar, apapun itu. Kecenderungan prosa kita hari ini lebih memberikan perhatian pada cerita-cerita kecil daripada cerita-cerita besar nan megah tentang revolusi misalnya. Pun juga gaya absurd, semacam surealisme dalam karya-karya prosa hari ini lebih mendapatkan tempat dan perhatian lebih banyak dalam diskursus sastra bercorak post-modern.

Kita juga melihat bahwasanya banyak karya prosa di Indonesia hari ini yang kontennya nyaris tanpa beban dan pretensi untuk menyampaikan pesan moral apapun. Realitas adalah realitas yang mesti ditampilkan seutuhnya betapapun busuk dan kelamnya realitas itu. 

Jika di dalam realitas kehidupan manusia dewasa ini memang tidak ada dan tidak kita temukan lagi moralitas maka lahirnya karya-karya prosa yang tanpa sisipan pesan moral sesungguhnya juga sudah menyampaikan pesan moral itu sendiri. Yakni suatu pesan yang disampaikan melalui karya prosa akan ketiadaan moralitas dalam realitas itu sendiri.

Soal pesan moral di dalam karya prosa kita hari ini, mengingatkan saya pada teman saya yang cerpenis. Singkat cerita, suatu hari bertahun silam, saya bertanya kepada teman saya ini tentang pesan moral dari karya cerpennya. Suatu pertanyaan yang benar-benar klise dan terdengar naif jika saya mengingatnya hari ini. Agaknya teman saya ini tertegun dengan pertanyaan klise nan bodoh saya waktu itu sehingga ia lantas menjawab dengan agak sarkastis. "Apa pesan moral cerpen ku? Pesan moralnya ya, tidak ada pesan moral. Saya spontan membatin, "wah, benar juga ya." 

Tidak adanya pesan moral di cerpennya, juga bisa menjadi pesan moral itu sendiri. Setidaknya jika itu yang saya maui. Ketiadaan pesan moral dalam karya cerpennya juga bisa dilihat sebagai pesan moral karena cerpen adalah karya rekaan yang bahan baku inspirasinya juga berasal dari realitas itu sendiri.

Teman saya waktu itu memang banyak menulis cerpen bergaya eksperimentalis. Ia banyak membaca cerpen-cerpen kekinian, seperti cerpen-cerpennya Dea Anugerah dan novel-novel Eka Kurniawan misalnya, sebagai referensi dan anutan model yang ia kejar pengaruhnya bagi gaya menulisnya. Teman saya itu merumuskan kegiatannya menulis cerpen, yang kadang ia ikutsertakan dalam perlombaan, sebagai ikhtiarnya untuk moco kahanan atau membaca realitas kekinian tanpa pretensi apapun termasuk soal moralitas. Membaca realitas seutuhnya, telanjang, tanpa nafsu untuk menyelipkan idealisme tentang masyarakat yang bermoral di tengah realitas yang hampir tanpa moralitas.

Moral, moral, moral. Apa sih moral itu?

Dalam benak saya yang naif waktu itu, pesan moral adalah suatu unsur yang mesti ada, suatu yang mutlak ada dalam setiap karya sastra, termasuk cerpen tentu saja. Pesan moral itu, menurut saya waktu itu tak ubahnya seperti rukun atau unsur utama penyusunan naskah prosa yang galibnya meliputi alur, plot, setting dan latar cerita. 

Anggapan naif saya yang mengharuskan adanya pesan moral yang eksplisit dalam setiap karya sastra sebenarnya sudah tertanam di benak pikiran saya sejak bangku sekolah menengah dulu. Masih teringat pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah dulu seringkali memberikan soal ujian yang menyuruh kita menebak pesan moral dari suatu karya sastra.

Memang buku-buku referensi sastra yang berjejer di rak-rak buku di perpustakaan sekolah menengah sebagian besar adalah prosa-prosa klasik terbitan Balai Pustaka yang kita tahu banyak memuat kisah-kisah kehidupan yang sarat akan pesan moral. Saya juga semakin meyakini otoritas kebenaran karya-karya sastra klasik itu karena di sampul buku tertera label Sastra Adiluhung dengan stempel buku yang terkesan sakral dan meyakinkan berbunyi: Milik Negara Tidak Diperjual-Belikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun