Hari ini tidak banyak lagi media mainstream yang menyediakan ruang bagi karya-karya sastra. Rubrik sastra kian menghilang atau mengecil dari ruang-ruang media kita. Kompasiana bisa dibilang adalah suatu pengecualian sebagai salah satu platform media mainstream berbasis User Generated Content (UGC) yang masih menyediakan ruang bagi karya-karya sastra seperti puisi dan cerpen dari member-nya.
Di Kompasiana kita masih bisa membaca dan menikmati begitu banyak karya-karya sastra di Rubrik Fiksiana yang dikirim pengguna atau member Kompasiana yang notabene kebanyakan adalah orang-orang biasa bukan mereka yang bertitel sastrawan. Karya-karya sastra seperti puisi, cerpen, roman hingga cerbung masih bisa kita lihat di Kompasiana berjajar secara up-to-date dengan artikel-artikel umum yang mengulas persoalan politik hingga kuliner.
Di Kompasiana, sastra tidak eksklusif berada di biliknya sendiri karena ia berada di tengah-tengah berbagai tulisan bertema umum bahkan tak jarang menjadi Headline. Dan yang lebih menggembirakan adalah, di luar dugaan saya sebelumnya, sebagai debutan di Kompasiana, ternyata jumlah pembaca karya-karya sastra seperti cerpen dan puisi di Kompasiana terbilang masih cukup banyak, setidaknya masih menyentuh angka ribuan jumlah viewers-nya.
Ternyata karya-karya sastra masih dirayakan dan diapresiasi di Kompasiana hingga hari ini. Meskipun kita tahu bahwa Kompasiana tidak menerapkan kurasi yang ketat mengenai kualitas karya sastra namun justru itulah, apresiasi terwujudkan secara deliberatif di tangan pembaca yang memberikan tanggapan dan apresiasi melalui fitur-fitur yang tersedia di media ini. Dengan demikian memungkinkan adanya percakapan hingga dialektika mengenai sastra secara virtual meskipun tentu saja sangat terbatas.
'Sabana-nya' Umbu Landu Paranggi dan Kompasiana
Karya-karya sastra tidak hanya masih mendapatkan ruang dan apresiasi di Kompasiana tetapi juga masih dirayakan dan dipercakapkan meskipun secara terbatas. Di Kompasiana, sastra menjadi lebih inklusif alih-alih eksklusif. Hal ini sangat penting karena sastra kemudian menjadi bagian yang dibicarakan dan dipercakapkan oleh orang-orang biasa tanpa kecanggungan dan sekat-sekat feodalistik.Â
Mengenai hal ini saya jadi teringat, meskipun tidak sama, akan suatu Desk Sastra Budaya di Mingguan Pelopor Yogya yang diasuh oleh Sang Presiden Malioboro mendiang penyair Umbu Landu Paranggi di akhir tahun 1960-an hingga pertengahan 1970-an. Salah satu ruang khusus puisi yang diasuh Umbu, di rubrik tersebut bernama SABANA. Rubrik SABANA menjadi gelanggang dan ajang kompetisi bagi ratusan bahkan ribuan penyair pemula hingga menengah yang mengirimkan sajak-sajaknya kepada Umbu.Â
Peran Umbu tidak hanya sebatas sebagai redaktur tetapi ia juga sebagai pengasuh, penjaga gawang sekaligus pelecut semangat berkarya para penyair pemula yang dilakukannya secara personal melalui korespondensi surat balasan hingga menemui langsung para penyair muda yang telah mengirimkan karyanya di rubrik asuhannya. Bisa dibilang Rubrik SABANA adalah ruang yang luas dan lebih terbuka bagi penyair pemula karena kurasi mengenai kualitas karya puisi di rubrik ini tidak terlampau tinggi jika dibandingkan ruang PERSADA dimana penyair-penyair pilih tanding dan istimewa saja yang bisa menembusnya.
Meskipun Kompasiana sangat berbeda dengan Rubrik SABANA, karena kita kini hidup di zaman yang juga sangat berbeda dalam ekosistem media digital dimana perayaan dan apresiasi sastra lebih bersifat virtual. Juga kini kita tidak lagi mempunyai sosok pengasuh dan pengasih para penyair muda seperti Umbu Landu Paranggi.Â