Mohon tunggu...
M. Fatah Mustaqim
M. Fatah Mustaqim Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Membaca dan menulis apa saja yang terlintas di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Distorsi Kebudayaan, Perilaku FOMO dan Mentalitas Instan

11 November 2023   08:40 Diperbarui: 12 November 2023   07:22 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi FOMO. Sumber Ilustrasi: pexels.com

Makna kebudayaan kini cenderung tidak lagi dipahami sebagai proses dari suatu subjek yang melakukan perbuatan (to do) melainkan sebatas suatu entitas yang menjadi (to be) atau bahkan terberi (given). Kebudayaan cenderung dimaknai sebatas output dan bukan proses belajar dan bertindak. Maka seringkali kebudayaan cenderung dipersepsikan sebatas produk jadi, pakem, padatan dan bangunan baku. Kebudayaan cenderung dikerdilkan sebatas output dari pertunjukan kesenian, ritual tradisi dan seremoni yang dibakukan, dimitoskan bahkan di-masa-silam-kan. 

Ketika kebudayaan tidak lagi dipahami sebagai proses penyadaran maka seringkali ia hanya menjadi slogan klise. Katakanlah jika kita mendengar himbauan 'budayakan gemar membaca' tentu apakah himbauan itu sudah memenuhi suatu proses latihan membangun kesadaran membaca dengan terjangkaunya akses terhadap sumber literasi, umpamanya. Jika syarat itu saja belum terpenuhi maka himbauan itu besar kemungkinan hanya omong kosong semata. 

Padahal teknologi canggih di masa kini juga adalah 'anak kandung' kebudayaan. Teknologi adalah proses dan hasil evolusi cara berpikir serta bertindak manusia yang senantiasa terus-menerus mencari cara lebih mudah untuk membantu survivalitas dan kebutuhan hidupnya. Teknologi bukan sekedar artefak dan benda yang dilahirkan tanpa ide dan konteks yang membentuk dan mempengaruhinya. Dengan kata lain teknologi tidak dilahirkan dalam ruang kosong yang netral begitu saja. Bahwa setiap penemuan karya baru dalam wujud apapun adalah ekspresi budaya dengan tingkat pencapaian kualitas yang berbeda-beda. 

Esensi budaya adalah proses mengolah (cultivate) dan menemukan gagasan dan pola tindakan baru. Kebudayaan berada dalam ruang abstraksi ide dan pemikiran sekaligus mengejawantah dalam konteks ruang kebendaan (hardware) setelah di-breakdown ke dalam realitas. Ini menunjukkan bahwa budaya atau kebudayaan berasal dari dan senantiasa kembali pada esensinya yang dinamis, yang tentu saja berlawanan dengan kejumudan dan sikap pragmatis yang instan. Hakikat budaya melingkupi bahkan melampaui nilai-nilai tradisionalitas dan modernitas. Budaya mengandung nilai tradisi sebagai wujud repetisi kedisiplinan, konsistensi dan kesinambungan. Kebudayaan juga mengandung nilai modernitas sebagai wujud dinamika, kebaruan, kekinian yang terus dihidupkan dan dikreasikan. 

Kebudayaan, bukan Hasrat yang Instan

Sebenarnya secara esensial tidak ada budaya atau kebudayaan yang bersifat instan. Maka frasa budaya instan itu cenderung tidak tepat. Sebenarnya lebih tepat disebut gaya hidup instan.  Sebab budaya atau kebudayaan bersifat kompleks, abstrak dan luas. Kebudayaan adalah wujud konkret dari keseluruhan proses yang meliputi input, output hingga outcome dari suatu peradaban. Maka kebudayaan tidak bisa dipandang sebagai suatu produk yang terwujud secara tiba-tiba atau instan. 

Dengan demikian, gaya hidup instan yang kini secara distorsif disebut budaya instan hanya dapat dilihat sebagai ekses atau akibat negatif dari budaya massa (mass culture) yang cenderung memisahkan individu dari proses produksi budaya itu sendiri. Budaya massa kemudian melahirkan kerumunan massa yang diseragamkan perilakunya dalam wujud gaya hidup instan dimana individu hanyalah deretan jumlah konsumen yang selera dan perilakunya seragam. Individu yang hanya menjadi konsumen dari budaya pop yang diproduksi massal dengan penyeragaman, tidak bisa disebut melakukan kesadaran dan tindakan budaya secara merdeka. Sebab ia hanyalah bagian parsial dari keseluruhan proses produksi budaya massa yang tidak disadari dan dimilikinya. Ia hanya tercatat sebagai massa yang diseragamkan dan diimitasi seleranya, pola perilaku konsumsi dan gaya hidupnya melalui teknologi algoritma berbasis Artificial Inteligence (AI) hari ini. 

Lantas ketika budaya atau kebudayaan secara umum hanya dipahami sempit dalam cara berpikir (mindset) budaya massa dan gaya hidup instan maka seringkali budaya tidak lebih hanya menjadi objek untuk dinikmati (baca:dikonsumsi). Kebudayaan hanya menjadi alat sejauhmana fungsinya masih bisa digunakan namun tidak disadari dan dipelajari bagaimana ia diciptakan dalam proses yang panjang. Dengan demikian, budaya atau kebudayaan hanya dinikmati sebatas produk instan, siap saji, buah masak dan bukan proses kesadaran dan pola tindakan yang dinamis dan panjang. Padahal menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan dan tindakan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia dengan belajar.

Dengan demikian, kebudayaan ketika diaplikasikan dalam kenyataan dan menjadi kata kerja tentu tidak bisa dilakukan dengan instan karena mengharuskan proses panjang mulai dari pergulatan ide, sistem gagasan serta tindakan. Namun ketika budaya cenderung dimaknai sempit sebatas dilihat dari sisi hasil atau outcome semata dan bukan proses berkarya yang panjang maka kebudayaan cenderung dipersepsikan sebatas hasil rumusan, padatan dan bangunan yang sudah selesai (paripurna). Budaya cenderung dikerdilkan semata hasil dari pertunjukan kesenian, perkakas-perkakas, ritual tradisi dan seremoni yang dipakemkan bahkan di masa-silam-kan. 

Maka nilai-nilai kebudayaan hanya diakui secara simplistis, klise, sebatas kemasan dan bungkus dalam wujud seremonial, himbauan artifisial sehingga sesungguhnya terpisah dari persoalan dan jawaban objektif dalam mengatasi persoalan keseharian yang lebih kompleks. Barangkali inilah yang mengakibatkan mandeknya proses kreatif dan sebaliknya perilaku FOMO dan mentalitas instan justru melingkupi kesadaran individu dan manajemen kebijakan sosial hari ini. Seringkali budaya telah kehilangan relevansi dalam laku keseharian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun