Mohon tunggu...
M.zainudin Zaynun
M.zainudin Zaynun Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa STAIN Tulungagung, juga sebagai Pimred Buletin local kampus DIDACTICA dalam HMPS PGMI tahun 2011

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Merubah Paradigma Mahasiswa; dari Unjuk Rasa Menuju Unjuk Rasio

9 Juni 2012   17:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:11 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merubah Paradigma Mahasiswa; Dari Unjuk Rasa Menuju Unjuk Rasio Berbasis Kesadaran Kritis Transformatif

"Wahai kalian yang rindu kemenangan, wahai kalian yang turun ke jalan...demi mempersembahkan jiwa dan raga...untuk  negeri  tercinta"

Paradigma yang berkembang saat ini di kalangan masyarakat pada umumnya menilai bahwa mahasiswa adalah sebagai kaum yang suka berunjuk rasa (meskipun tidak semua). Hal itu terjadi, karena mayoritas yang menjadi pelakon unjuk rasa itu ternyata adalah mahasiswa. Lebih disayangkan lagi adalah manakala sebuah aksi yang dilakoni oleh para mahasiswa kurang mendapat sambutan baik, hal ini berindikasikan gerakan mahasiswa menjadi anarkis. Bahkan tidak jarang juga tindakan anarki tersebut sampai menelan korban banyak baik dari segi materi bahkan korban jiwa. Namun yang perlu lebih diketahui adalah, mereka melakukan hal tersebut hanya semata-mata untuk meneguhkan peranannya di kancah pergolakan bangsa sebagai agent of change dan agent of control.

Masih terkait aksi, dimana masyarakat menilai dari tindakan aksi ini bukan merupakan hal yang baik, disebabkan dapat mengakibatkan kenyamanan masyarakat. Seperti kebanyakan aksi yang mereka lakukan di tempat-tempat umum dan tak jarang juga sampai turun jalan hingga menyebabkan kemacetan di jalan.

Sudah barang tentu menjadi harapan orangtua, anak yang dikuliahkannya kelak akan menjadi orang yang sukses, bekerja dikantoran dengan memakai dasi dan itulah yang kerap kali menjadi parameter kesuksesan orang. Bahkan banyak juga orangtua yang menggantungkan harapan keberhasilan anaknya dengan menguliahkannya di sebuah perguruan tinggi. Namun berbeda dengan pemikiran anaknya, tatkala merka menyandang identitas “mahasiswa” sebagai seorang yang memiliki peranan dan tanggungjawab sosial yang cukup diperhitungkan sebagai mahasiswa. Mahasiswa sebagai agen of change, agen of control, sudah memperlihatkan peran sesuai tupoksinya sejak rezim orde baru, yang mana kala itu begitu bersemangat untuk menjatuhkan kekuasaan yang begitu otoriter. Dan melalui berbagai aksi yang dilakukan mahasiswa itulah peranan mereka sangat diperhitungkan.

Realita dan Solusi yang Solutif

Dilihat dari mahasiswa kekinian, mayoritas mahasiswa menjadi merasa enggan untuk mngambil dan mengikuti kegiatan di luar perkuliahan. Hedonisme, pragmatisme dan instanisme ternyata semakin menggejala dikalangan generasi muda khususnya mahasiswa. Sampai mereka kehilangan identitas sebagai kaum intelektual yang dulunya dengan lantang meneriakkan dan memperjuangkan aspirasi-aspirasi masyarakat lemah dan terlemahkan. Kalaupun masih ada, itupun juga dalam jumlah yang sangat minim dibandingkan jumlah keseluruhan. Pergeseran ini jelas disebabkan karena sensitifitas mahasiswa yang selalu tergerus perubahan zaman. Selain itu pula, rasa nasionalisme semakin terdegradasi dengan seiring sensitifitas sosial yang juga sering menurun karena tingkat individual yang setiap hari kian meninggi.

Namun selain menjadi kaum oposisi bagi para pemerintah dalam hal pengontrol kebijakan, harusnya mahasiswa mampu berjalan secara beriringan dengan pemerintah dalam memberikan transformasi sosial dewasa ini. Mengingan peranan “moral force” idealisme mahasiswa dalam setiap aksinya akan selalu mengedepankan inovasi positif dengan mengedepankan pula paradigma kritis transformatif dibanding aksi fisik yang hanya menyisakan keringat yang tak berarti. Itupun kalau tetap dilakukan dewasa ini selalu mendapatkan image negatif dari masyarakat tatkala mahasiswa melakukan unjuk rasa. Dikarenakan hari ini tidak mungkin mampu disamakan dengan masa lalu. Itu karenanya perlu merubah daripada paradigma mahasiswa untuk membangun image positif dari masyarakat pada umumnya. Itupun bukan berarti dengan menafikan identitas mahasiswa yang selalu terus melakukan transformasi sosial yang berlandaskan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaannya. Memang mahasiswa lebih identik dengan gerakannya, dan bahkan setiap tindakan pun kalau perlu akan diselesaikan dengan metode gerakan. Namun yang perlu diketahui bahwa mahasiswa disamping harus menyelesaikan dengan gerakan, mahsiswa juga masih mampu menggunakan rasionya dalam menyelesaikan segala permasalahan yang ada. Tidak semua harus memerlukan aksi, tidak semua harus melakukan turun jalan, tidak semua harus dengan jalan unjuk rasa, namun dengan open image building positif, dirasa mahasiswa masih mampu dengan paradigma unjuk rasionya dengan terus melakukan transformasi sosial demi terwujudnya sebuah idealisme masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai ke-Islaman dan ke-Indonesiaan dan semakin meneguhkan posisinya dikancah pergolakan sejarah bangsa Indonesia, serta dengan continuitas terus melakukan pengkaderan secara kultur maupun struktur demi terciptanya kaum intelektual yang sadar dan bernalar kritis transformatif untuk meneruskan perjuangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun