Oleh: Trimanto B. Ngaderi
Bagi pegawai maupun karyawan, gaji yang diterima setiap bulannya hanya “sebagian kecil” dari rejeki yang diberikan Tuhan. Bagi pengusaha atau wirausaha, penghasilan yang ia peroleh setiap bulan juga cuma “sebagian kecil” dari pemberian Allah swt. Pun bagi pedagang, sales, petani, pengrajin, atau pekerjaan profesional lainnya, uang yang ia dapatkan hanyalah sekian persen saja dari keseluruhan anugerah Sang Pemberi Rejeki.
Kita masih mengidentikkan rejeki dengan uang semata. Padahal rejeki pengertiannya amatlah luas dan mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Ada rejeki materi dan rejeki nonmateri. Ada rejeki yang riil, ada pula rejeki yang tak kasat mata. Ada rejeki yang bisa dilihat dan dirasakan secara fisik, ada pula rejeki yang tak bisa dilihat dan hanya bisa dinikmati secara ruhani.
Lingkungan sosial yang rukun dan kondusif adalah rejeki. Istri dan anak-anak yang penurut juga rejeki. Teman dan sahabat yang setia dan jujur termasuk rejeki. ilmu dan wawasan yang luas pun rejeki. Punya kesempatan bersilaturrahmi dan membantu sesama juga suatu anugerah. Dapat makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak merupakan pemberian tak terhingga.
Salah Parameter atau Kriteria
Kita masih mengukur bahwa rejeki dan kebahagiaan itu jika: bisa makan enak, memakai pakaian yang mahal dan sering berganti-ganti, punya rumah atau kendaraan mewah, punya gadget terbaru, dan berbagai kepemilikan lainnya yang bersifat materi/duniawi. Padahal, setelah kita memiliki semuanya, mungkin rasanya juga biasa-biasa saja, malah kita cepat bosan, dan tak jarang menimbulkan berbagai masalah baru.
Kita selalu melihat milik orang lain dan lupa dengan milik sendiri. Sehingga yang ada hanyalah perasaan kurang, iri, cemburu, hingga keserakahan. Bahkan, sebagian orang rela melakukan hal-hal tak terpuji demi mendapatkan sesuatu yang diinginkannya. Ia rela berbuat curang, menipu, korupsi, mencuri, dan lain-lain demi menuruti syahwat kebendaannya.
Kesuksesan atau kebahagiaan cenderung diukur oleh kepemilikan materi, kelimpahan harta-benda. Punya ilmu yang mumpuni tak dianggap sukses. Aktif berorganisasi sosial dan dakwah tak dianggap keberhasilan. Punya anak-anak yang patuh dan rajin beribadah tidaklah dianggap kebahagiaan.