Mohon tunggu...
Trimanto B. Ngaderi
Trimanto B. Ngaderi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Penulis, Pendamping Sosial Kementerian Sosial RI, Pegiat Urban Farming, Direktur PT LABA Indoagro Nusantara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen khas Mandailing (3) "Losung Aek"

30 Januari 2015   14:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:06 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1422577856835252035

Cerpen

LOSUNG AEK

Oleh: Trimanto b. Ngaderi

Sore yang indah. Matahari sore yang hampir tenggelam di ufuk cakrawala memancarkan sinar kekuning-kuningan, membuat hamparan padi yang telah masak bertambah menyejukkan hati pemilik sawah. Sebagian sinar itu menyusup lewat sebuah roda kayu besar yang menyerupai kincir air dan akan berputar secara terus-menerus oleh aliran air. Roda ini menggerakkan sebuah lesung besar yang ada di dalam bangunan besar tak jauh dari kincir air. Sepanjang lesung besar itu, disusun alu-alu kecil yang berderet rapi. Alu-alu kecil inilah yang akan menumbuk cekungan lesung untuk menghaluskan padi, ketan dan sejenisnya.

Tak jauh dari losung aek[1], di aliran air yang tidak begitu deras, seorang pemuda gagah dan tampan tampak sedang memeriksa tambun[2]. Ia mengangkat jaring perlahan-lahan. Tak berapa lama, ember yang berada tak jauh dari tempat ia bekerja telah penuh dengan aneka ikan seperti ikan mas, gabus, limbat, tikkalang, sikating, sidat, mera. Begitulah pekerjaan pemuda itu di setiap sore, ketika matahari Ashar telah bergeser hampir menuju peraduannya untuk kemudian lenyap dan bersembunyi di kegelapan malam.

Di waktu sore begitu, banyak para gadis di kampungnya yang pergi ke losung aek untuk menggiling padi-padi mereka. Juga menggiling ketan yang mereka petik beberapa waktu lalu untuk membuat makanan aneka rupa, seperti lemang, alame, opping, panggelong, karakkoling. Mereka hilir-mudik melewati jalan setapak tak jauh dari tempat pemuda itu membuat tambun. Banyak di antara mereka yang memiliki wajah cantik dan memesona, namun tak satu pun yang menarik perhatian pemuda itu.  Walau sebagaian dari gadis-gadis itu menyapanya dengan manja, mencuri pandang atau sengaja mendekatinya untuk berpura-pura membantunya mengumpulkan ikan dari jaring. Bahkan ada juga yang berjalan berlenggak-lenggok atau sengaja menurunkan kerudungnya agar rambut indahnya terurai hanya untuk mencari perhatian dari pemuda itu.

Bukan karena pemuda itu tak suka kepada gadis-gadis yang cantik, bukan pula ia lelaki dungu yang bisa menghindar dari pemandangan yang mampu membangkitkan naluri kelelakiannya, namun sampai sekarang belum ada seorang pun dari gadis-gadis itu yang mampu menggetarkan hatinya.

Suatu sore di hari Jum’at, ketika pemuda itu sedang asyik-asyiknya membersihkan jaring-jaringnya dari dedaunan dan kayu-kayu kecil yang hanyut di sungai, ia dikejutkan oleh lewatnya seorang gadis sederhana tapi berwajah putih bersih. Tubuhnya tinggi semampai dengan rambut terurai panjang sepinggang. Gadis itu menoleh ke arahnya. jantungnya berdegup kencang ketika menatap mata bulat gadis itu yang tajam dan berkilat-kilat, seakan memancarkan cahaya cinta ke kalbunya yang selama ini beku dan statis. Gadis itu tersenyum lembut dengan bibirnya yang merah tipis bak buah delima, lalu bergegas menuju losung aek.

Sejak pertemuannya dengan gadis itu, si pemuda setiap sore selalu berharap untuk melihat gadis itu lagi. Namun, setelah hampir 5 hari menunggu, gadis yang dinantikannya itu tidak muncul lagi. Ia merasa kecewa, hingga ikan-ikan yang ada di jaringnya ia biarkan lepas dan berenang dengan bebas. Ketika ia hampir putus asa, di hari Jum’at lagi gadis itu muncul kembali. Serentak ia berlari menuju jalan setapak dan menyapa gadis itu.

“Maaf, bolehkah aku berkenalan denganmu?” kata si pemuda dengan penuh antusias. “Boleh,” jawab gadis itu singkat sambil menundukkan wajahnya.

“Aku Parlaungan, panggil saja Laung. Anak dari Pardamean” kata Parlaungan sembari mengulurkan tangannya. Namun, gadis itu tampak terkejut mendengar nama Pardamean disebut. Tapi ia dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya dan segera menyalami pemuda di depannya.

“Namaku Manna. Aku dari kampung Tabusira”

”Bolehkah aku main ke rumahmu?”

”Ma...maaf, Bang. Aku harus segera menggiling padi ini!”

Setelah berkata demikian, ia bergegas meninggalkan Parlaungan yang terbengong-bengong atas sikap Manna yang aneh itu.

Begitulah ......

Setiap Manna pergi ke losung aek, Laung selalu mencegatnya dan mengajaknya bicara. Diperlakukan demikian, lama-lama Manna merasa malu. Apalagi jika ada orang yang melihatnya.

”Mengapa Abang selalu menemuiku?” tanya Manna datar. Ia tahu bahwa Laung telah jatuh hati padanya, tapi ia berpura-pura bersikap bodoh.

Laung bingung mau bicara apa. Ia diam sesaat. Namun, karena ia tak sanggup lagi mengendalikan perasaannya yang bergelora, akhirnya ia berterus terang juga.

“Aku ....aku suka sama kamu, Manna!”

Manna tak menduga kalau kata-kata itu akan keluar juga dari mulut Laung. Ia hanya menunduk dan diam membisu. Ia bingung harus menjawab apa. Walau dalam hati kecilnya, ia juga mengagumi pemuda itu. Tapi di sisi lain, ia sangat sadar kalau cintanya hanya akan bertepuk sebelah tangan.

***

Setelah pertemuan itu justru Manna tak pernah muncul lagi di losung aek. Laung yang biasanya rajin mencari ikan hanya menunggu di dekat tambunnya. Ia menunggu dan terus menunggu. Setiap orang yang datang ke losung aek ia tanyai tentang keberadaan Manna. Namun tak satu orang pun yang bisa memberi jawaban. Hingga rasa bosan memukul kesabarannya. Untuk melampiaskan kekesalannya, ia merusak tambun-nya dan melemparkan batu-batu penyusun ke tengah areal sawah.

Akhirnya ia memutuskan untuk mencarinya ke kampung Tabusira. Setelah bertanya ke beberapa orang, akhirnya ia menemukan juga rumah gadis impiannya itu. Ketika ia melangkah ke halaman rumah Manna, betapa terkejutnya ia melihat tangga bulu[3] di depan pintu. Walau pada mulanya ia gamang, akhirnya ia ketuk juga pintu itu. Dan seorang ibu paruh baya menyambutnya dengan ramah dan mempersilakan Laung masuk. Setelah Laung duduk, ia pergi ke belakang untuk memanggil Manna yang sedang memasak di dapur.

”Ada apa Abang datang kemari?” tanya Manna memulai pembicaraan sembari duduk di lantai, tidak duduk di kursi sebagaimana layaknya tuan rumah.

“Aku ingin ketemu kamu, Manna!”

”Mau apa lagi? Abang sudah lihat sendiri kan siapa kami. Lebih baik Abang tidak menemuiku lagi!”

Baru saja Laung hendak menjawab, ibu Manna datang membawakan air nira dan sepiring opping. Lalu ia pun duduk di lantai di samping Manna.

”Benar apa yang dikatakan Manna, aku tidak tahu bagaimana orang-orang kampung akan lebih menghina keluarga kami,” kata ibu Manna sambil menunduk dan dengan mata berkaca-kaca.

Laung hanya bisa diam. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Sebenarnya ia sangat paham apa yang sedang dirasakan oleh mereka. Tapi, haruskah ia mengingkari cintanya pada Manna hanya karena ia seorang partangga bulu[4]? Ia tahu, walau Manna menolak dirinya, tapi dari pancaran sinar matanya, ia bisa menangkap bahwa ia pun mencintai dirinya.

***

Kabar tentang jatuh cintanya Laung pada Manna pun akhirnya tersebar luas, bahkan sampai ke telinga kedua orang tuanya, walau Laung belum bicara sendiri kepada mereka. Secara diam-diam, mereka mengutus anak boru[5] dalam keluarga besar untuk mangaligi tangga[6] ke rumah Manna. Setelah mereka tahu bahwa Manna keturunan dari keluarga hatoban, maka di suatu pagi yang berkabut, ia dipanggil oleh kedua orang tuanya.

“Apa kau tidak salah pilih mencintai gadis itu?” tanya Inang Laung dengan nada tinggi.

“Apanya yang salah. Aku benar-benar mencintainya!” jawab Laung tegas.

Amang yang sedari tadi menghisap rokok kesukaannya bangkit dan berkata dengan lantang.

”Kita ini keluarga dari keturunan Raja Panusunan Bulung[7], bagaimana mungkin akan menikahi seorang hatoban? Apa kata para hatobangon di kampung kita” bentak Amang dengan mata melotot.

”Tapi dia adalah gadis yang sangat istimewa bagiku. Dan aku tak akan mungkin berpaling kepada perempuan lain.” jawabnya lagi memberi alasan.

”Tidak. Pokoknya kami tidak setuju. Sampai kapan pun hatoban tetap hatoban ...!!!”

Sejak peristiwa itu, Laung semakin gelisah. Walau kedua orang tuanya  pemeluk Islam yang taat, tapi cara berpikir mereka sungguh picik dan jahil. Mereka masih membeda-bedakan manusia berdasarkan asal-usul keturunan. Apalagi di zaman modern sekarang ini, persamaan dan kebebasan adalah sesuatu yang harus ditegakkan. Laung berpikir, sepertinya sudah tidak ada cara lagi untuk meyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia benar-benar mencintai Manna. Akhirnya ia memutuskan akan menikahi Manna, walau harus marlojong[8] sekalipun.

Hari itu juga, pergilah ia ke rumah Manna. Namun, betapa terkejutnya ia ketika tahu bahwa Manna dan keluarganya telah pergi meninggalkan kampung itu beberapa hari lalu. Dan para tetangga tidak satu pun yang tahu ke mana mereka pergi.

Betapa sedih dan kecewa hati Laung ketika itu. Hatinya hancur berkeping-keping. Ia harus kehilangan orang yang sangat dirindukannya. Seakan ia telah kehilangan segala-segalanya. Mengapa semua ini harus terjadi padanya? Mengapa pula Manna pergi begitu saja tanpa memberitahunya? Rutuknya dalam hati.

Namun, ia tidak bisa menyalahkan mereka. Ia tahu, mungkin mereka sudah tidak tahan dengan hinaan dan cemoohan orang-orang di kampungnya. Mereka sampai sekarang masih dipandang rendah dan hina oleh masyarakat. Dalam hatinya, Laung mengutuk orang-orang kampung yang telah berbuat tidak adil. Mengapa Manna harus menangggung dosa-dosa leluhur mereka di masa lalu, hanya karena leluhur mereka kalah dalam perang antarkampung, sehingga anak-cucu mereka hingga kini berstatus sebagai hatoban.

Lalu, ia pulang ke rumahnya dengan langkah gontai. Rasa sedih dan kecewa masih terus menyesaki dadanya.

***

Matahari mulai meninggi dengan sinarnya yang menyeruak lewat gugus Bukit Barisan yang tampak anggun dan menyimpan aura magis. Burung baro-baro masih saja berkicau, selalu menyanyi kepada semesta raya untuk menyambut pagi dengan sukacita. Para lelaki yang sedari tadi minum kopi Mandailing di lopo-lopo, tampak mulai beranjak untuk mengerjakan sawah-ladang mereka, sedangkan para pemudanya bersiap-siap untuk menderes karet.

Tidak jauh dari losung aek, seorang pemuda tampan berteriak-teriak sendiri dengan kencang. Sesekali ia menyebutkan nama Manna. Pakaiannya kotor dan comping-camping. Hampir setiap hari ia berada di sana, seolah-olah ada seseorang yang sedang ditunggunya. Kadang-kadang ia berjoget-joget di pematang sawah atau berlari hilir-mudik di sepanjang aliran sungai kecil. Lalu tertawa sendiri, tertawa lagi, bahkan terbahak-bahak.

Setiap ada gadis yang lewat, maka ia akan mengejarnya dan memanggilnya dengan sebutan ”Manna”. Para gadis itu berlarian ketakutan. Ada yang berteriak meminta tolong, ada yang meludah ke pemuda itu, dan ada pula yang meneriakinya dengan sumpah-serapah.

Setelah merasa capek dan hari hampir Maghrib, pemuda itu duduk termenung di atas tambun yang dulu pernah dibuatnya. Ketika matanya menatap ke arah kampung Tabusira wajahnya mendadak berubah sedih. Lalu ia menangis tersedu-sedu, sambil kedua kakinya menyepak-nyepak air di bawahnya.

***

Bulan demi bulan telah berlalu. Tahun-tahun pun terlewati dengan cepatnya. Walau kedua orang tuanya telah memanggil banyak datu[9] ke seluruh pelosok Sipirok dan Padang Lawas, bahkan sampai ke Mandailing, tapi anak lelaki satu-satunya itu tak kunjung waras. Bahkan, ketika sang ibu sudah tak sanggup lagi menanggung beban dan rasa malu, akhirnya ia meninggal dengan cara yang menyedihkan. Kini, tinggallah sang ayah yang hari-harinya diisi dengan ratapan dan penyesalan. Tubuhnya kurus kering dan sakit-sakitan.

Sementara itu, pemandangan di losung aek tak pernah berubah. Pemuda yang telah hilang ingatan itu masih saja bertengger di sana. Entah sampai kapan ia akan tetap di sana. Berbeda dengan hari-hari lain, hari ini ia tampak tenang. Ia hanya duduk-duduk di sebuah batu besar sembari memainkan daun enau. Angin semilir memainkan rambut panjangnya yang tak terurus lagi. Sedangkan kemilau air masih memantulkan wajahnya yang tampan.

Tanpa ia sadari, ada sepasang mata yang mengawasinya sejak tadi dari rerimbunan semak-semak. Mata lentik dan bening itu menitikkan air mata. Sebelumnya ia telah mendapat kabar dari seseorang kalau pemuda yang dulu mencintainya kini telah hilang ingatan. Hatinya merintih-rintih bagai tersayat sembilu. Sebenarnya ia merasa sangat bersalah, tapi apa yang bisa dilakukan oleh dirinya. Orang yang selalu dan akan selalu dipandang sebelah mata oleh orang-orang di kampungnya.

Di tangan kirinya ia menggenggam sebuah tabung dari bambu yang berisi aek pitu sunge[10], yang telah diberi doa-doa khusus. Obat ini pemberian amangboru-nya di Panyabungan yang menjadi seorang malim[11] di sana. Ia sangat berharap kepada Tuhan, agar Laung diberikan kesembuhan.

Melihat keadaan Laung yang amat menyedihkan, lama-kelamaan tangisnya pecah. Rasa iba dan belas kasihan kini telah menguasai jiwanya. Maka, spontan ia berteriak, ”Abang Laung ................”

Suaranya menggema ke segala penjuru. Mendengar ada suara yang memanggil namanya dan ia mengenali suara itu, si pemuda mengedarkan pandangan ke sekeliling dan mencari sumber suara.

Rawamangun, 17-07-2008; 10: 58am

Cerpen: Losung Aek

Karya: Trimanto

SINOPSIS

Cerpen ini settingnya di Batak Angkola (Tapanuli Selatan). Bercerita tentang seorang pemuda bernama Parlaungan yang pekerjaan sehari-harinya membuat tambun/mencari ikan di dekat losung aek (lesung air). Biasanya, setiap sore banyak sekali para gadis yang datang ke losung aek untuk menumbuk beras. Suatu hari, lewatlah seorang gadis bernama Manna dari kampung Tabusira. Akhirnya Laung jatuh cinta kepadanya.

Namun, setelah kedua orang tuanya mengetahui bahwa Manna adalah keturunan seorang hatoban (budak), maka mereka yang keturunan raja menolak dengan keras hubungan mereka. Sekalipun demikian, Laung tetap bersikeras untuk menikahi Manna, walau harus marlojong (kawin lari).

Belum juga niatnya itu kesampaian, Manna dan keluarganya telah pergi meninggalkan kampung Tabusira dan tidak ada satu orang pun yang tahu ke mana mereka pergi. Betapa sedih dan kecewanya Laung ketika itu.

Akhirnya Laung menjadi gila. Setiap hari ia bertengger di dekat losung aek. Ia menari-nari, tertawa sendiri, berlarian dan sesekali menyebut nama Manna setiap ada gadis yang lewat. Walau kedua orang tuanya telah berusaha untuk menyembuhkan Laung dengan memanggil datu (dukun) ke seluruh pelosok negeri, Laun tak kunjung berubah. Hal inilah yang membuat ibunya mati dengan cara yang mengenaskan, sedang ayahnya sakit-sakitan.

Keadaan Laung yang menjadi gila sampai juga ke telinga Manna. Maka, datanglah ia ke kampung Laung dengan membawakannya sebuah obat aek pitu sunge (air tujuh sungai).

*) Pegiat Forum Lingkar Pena

[1] Lesung air

[2] Perangkap ikan yang terbuat dari susunan batu-batu pada aliran air yang tidak begitu deras

[3] Tangga dari bambu

[4] Budak = hatoban

[5] Salah satu dari unsur Dalihan Na Tolu/pihak pemberi istri

[6] Melihat tangga

[7] Keluarga pendiri kampung/keturunan raja

[8] Kawin lari

[9] Semacam dukun, orang pintar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun