Seiring berjalannya waktu, fakta-fakta baru mulai ditemukan, misteri-misteri yang tersembunyi mulai terkuak, asumsi-asumsi yang sudah terlanjur dipercaya kini mulai terbantahkan. Dengan adanya penelitian-penelitian yang serius dan komprehensif, ditemukanlah informasi, data, bukti-bukti yang mampu menyingkap tabir gelap sebuah peristiwa sejarah. Kebenaran baru pun disuguhkan di depan kita. Â
Demikian halnya dengan penulisan sejarah Walisanga yang sarat dengan bumbu-bumbu takhayul, khurafat, dan mistik. Bahkan pada beberapa kisah sudah sampai pada level sesuatu yang tak masuk akal.
Hal ini mengakibatkan sejarah tak ubahnya sebuah cerita dongeng atau fiksi. Namun anehnya, masyarakat kita sudah terlanjur percaya akan kebenaran dari cerita itu. Karakter bangsa Indonesia (terutama Jawa) yang sangat mudah silau dengan segala sesuatu yang berlabel "wali", sehingga mudah menerima mentah-mentah tentang kehebatan para wali dan mengingkari kemustahilannya.
Dalam buku "Fakta Baru Walisongo" karya Zainal Abidin bin Syamsuddin ini diulas secara detail dan mendalam tentang penemuan fakta-fakta terbaru seputar Walisanga. Kita yang selama ini terlanjur meyakini akan kesaktian dan kehebatan Walisanga, akan segera tersadar bahwa semua itu hanyalah mitos dan legenda belaka.
Cerita itu sengaja ditulis oleh pihak-pihak tertentu dengan tujuan kepentingan politik kekuasaan atau menunjukkan superioritas orang Jawa di atas bangsa lain (terutama Arab).
Diawali dengan pemaparan bahwa wali tidak hanya berjumlah sembilan orang, tapi sangat banyak, bahkan hingga lima periode. Konon, penyebutan Walisanga digulirkan oleh pihak keraton dengan tujuan Jawanisasi Islam.
Hal ini dikarenakan istilah Walisanga baru populer pada abad ke-19 M. Bahkan, para raja Mataram di Surakarta juga menggunakan gelar "Sunan" (susuhunan).
Ditemukan pula fakta bahwa yang menyebarkan Islam di tanah Jawa bukanlah peran tunggal para Walisanga semata. Tidaklah masuk akal jika pulau Jawa yang seluas ini hanya diislamkan oleh sembilan orang saja dan dalam waktu yang singkat.
Faktanya, peran para santri dan pesantren yang secara aktif dan berkesinambungan memperkenalkan Islam hingga ke pelosok perdesaan.
Diinformasikan dalam buku ini bahwa Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat dikelompokkan ke dalam Islam putihan (puritan). Mereka secara tegas menolak adat-istiadat dan tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam dan terlebih berpotensi merusak akidah umat.
Sedangkan kelima wali lainnya dikelompokkan ke dalam Islam abangan, karena dalam dakwah cenderung bersikap sinkretis kompromistis, masih mencampur-adukkan  kepercayaan animisme-dinamisme, Hindu-Budha, dan Islam; sehingga tidak jelas lagi mana yang adat, mana tradisi, dan mana yang agama.